Oleh: M. Anwar Djaelani
Aktivis MIUMI Jawa Timur
Al-Qur’an–pedoman hidup Muslim–memuat ratusan ayat berupa larangan. Ayat-ayat itu menggunakan kata ”jangan”. Tetapi aneh, belakangan ini, ada yang seperti tak mau menggunakan kata ”jangan” dalam mendidik anak atau murid-muridnya. Benarkah sikap itu?
Tak Berdasar
Apa alasan dari mereka yang seperti alergi jika harus menggunakan kata ”jangan” di saat mendidik murid-murid atau anak-anaknya? Pertama, kata mereka, kata “jangan” atau “tidak” bertentangan dengan cara kerja otak. Kata-kata negatif seperti “jangan” atau “tidak” dinilai tak mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Terkait alasan ini, ada “resep”: Hindarilah penggunaan kata negatif. Sebab, jika ada kata negatif, maka yang diterima anak atau murid adalah kata di belakang kata negatif itu. Sementara, kata negatifnya diabaikan. Misalnya, pada kalimat “Jangan ramai” maka yang ditangkap anak atau murid adalah “ramai”.
Kedua, lanjut mereka, kata “jangan” atau “tidak” terasa tidak humanis. Penggunaan kata-kata negatif itu bisa melukai rasa kemanusiaan, menjatuhkan harga diri, menutup pintu dialog, dan menempatkan anak atau murid pada posisi bersalah. Untuk itu, mereka lebih merekomendasikan pemberian motivasi dan pilihan kepada anak atau murid. Gunakanlah kata-kata positif, kata mereka.
Benarkah pendapat yang sepintas tampak memikat itu? Mari kita buka kisah Luqman. Bacalah QS. Luqman [31]: 12: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman”. Maka, kitapun tahu bahwa Luqman itu orang yang diberi hikmah oleh Allah. Luqman bukan Nabi, tetapi dia adalah lelaki shalih dan bijaksana yang kita diperintahkan untuk meneladaninya.
Perhatikanlah saat Luqman mendidik anaknya dan untuk itu dia menggunakan kata “jangan”. Cermatilah! “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’,” (QS Luqman [31]: 13).
Di ayat berikutnya, kembali Luqman mendidik anaknya dan tetap memilih kata ”jangan”. Perhatikanlah! “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS. Luqman [31]: 14-15).
Sementara, salah satu inti ajaran Islam adalah kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar. Maka, ketika amar ma’ruf nahi munkar kita lakukan, mustahil jika kita membuang kata ”jangan” dari perbendaharaan kata-kata kita.
Rasakanlah, mantapnya Luqman dalam beramar ma’ruf nahi munkar seperti berikut ini. Berkali-kali Luqman menggunakan kata ”jangan”. Simaklah! “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS Luqman [31]: 17-18).
Tampak, Luqman tidak merasa perlu mengganti kalimat “Jangan menyekutukan Allah” dengan–misalnya- “Esakanlah Allah”. Pun demikian dengan kalimat “Jangan angkuh“ tak perlu dilunakkan menjadi -misalnya- “Sebaiknya ramah”.
Berikut ini sekadar tambahan contoh, bagian dari ratusan ayat Allah yang menggunakan kata “jangan” terkait (perintah dan) larangan kepada manusia. “Dan janganlah kamu campur-adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 42).
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk,” (QS Al-Israa’ [17]: 32).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu,” (QS An-Nisaa’ [4]: 29).
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain,” (QS An-Nisaa’ [4]: 32).
Melengkapi ayat-ayat Allah, di dalam banyak hadits, Rasulullah SAW juga menggunakan kata “jangan” terkait dengan berbagai aturan hidup. Berikut ini sekadar menyebut beberapa contoh: “Janganlah salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri,” (HR. Muslim).
“Janganlah engkau mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa, maka bolehlah ia berpuasa,” (Muttafaq Alaihi).
“Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya,” (Muttafaq Alaihi).
Sekarang, beranikah kita lebih mendahulukan kata pakar atau bahkan sekadar trainer di berbagai pelatihan parenting ketimbang Luqman yang materi pendidikan dan cara menyampaikannya telah dimuliakan Allah dengan mengabadikannya di dalam Al-Qur’an? Luqman bukan Nabi, tetapi ketinggian ilmunya yang didasarkan pada tauhid tak pantas kita nomorduakan. Luqman pasti jauh tak akan tertandingi oleh pakar sekular dan juga oleh trainer dari kelas parenting.
Pilih Mana
Alhasil, kita tinggal memilih. Di dalam mendidik anak atau murid, akankah kita akan ikut Luqman ‘Sang Pendidik dan Ahli Hikmah’ yang nama dan caranya mendidik ada di dalam Al-Qur’an ataukah kita bersedia mengekor pendapat pakar yang tak kita kenal dengan baik aqidah dan akhlaqnya. []