DI alam demokrasi seperti sekarang, suara mayoritas hampir dituhankan. Jika mayoritas individu menginginkan sesuatu, maka sesuatu itu harus ada. Jika mayoritas manusia menyatakan baik sesuatu, maka sesuatu itu harus dianggap baik oleh semua orang. Jika mayoritas orang menyatakan buruk sesuatu, maka sesuatu itu harus diterima sebagai sesuatu yang buruk. Inilah cara berpikir yang dibentuk oleh sistem demokrasi, inilah kebenaran asasi versi demokrasi. Lalu, bagaimana pandangan Islam?
Sudah mafhum bagi kita kalau demokrasi bertentangan secara diametral dengan Islam. Ada kemiripan di beberapa cabang pemikirannya tak membuat demokrasi bisa dianggap sama, ekuivalen atau bagian dari Islam. Demokrasi yang asasnya meletakkan penentuan benar dan salah berdasarkan suara mayoritas manusia, jelas bertolak belakang dengan konsep Islam yang hanya menjadikan Allah –melalui keterangan dalam Kitabullah dan Sunnatu Rasulillah– sebagai penentu benar dan salah. Ini perkara asasi, dan asas inilah yang mendasari perbedaan tajam berbagai cabang pemikiran dan peraturan yang lahir dari sistem demokrasi dan sistem Islam.
BACA JUGA: Hukum Bersalaman Laki-laki dan Perempuan, Antara Al-Qaradhawi dan Mayoritas Ulama
Kembali ke suara mayoritas, ternyata Allah ta’ala dalam al-Qur’an banyak sekali mencela suara mayoritas (yang dalam sistem demokrasi begitu diagung-agungkan). Mari kita simak surah al-An’aam ayat ke 116 berikut ini:
وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله ، إن يتبعون إلا الظن وإن هم إلا يخرصون
Artinya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini (mayoritas manusia), niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
Ibnu Katsir rahimahullah di kitab tafsir beliau mengomentari ayat ini dan ayat setelahnya (dalam satu komentar), “Allah ta’ala memberitakan keadaan kebanyakan (mayoritas) penghuni bumi dari Bani Adam yang berada dalam kesesatan.”
Di dalam kitab tafsir lain seperti tafsir Jalalayn dan tafsir al-Baidhawi, frase أكثر من في الأرض maksudnya adalah kaum kuffar. Al-Baidhawi rahimahullah menyebut kata الأرض yang dimaksud adalah Makkah (menunjuk kepada kaum kuffar Quraisy). Ini pun semakin menegaskan penafian Allah terhadap kebenaran suara mayoritas, terutama jika suara mayoritas tersebut mengarah pada penentangan terhadap perintah Allah ta’ala.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa kesesatan kebanyakan manusia di muka bumi ini juga disebutkan Allah ta’ala dalam surah Yusuf ayat 103, yang berbunyi:
وما أكثر الناس ولو حرصت بمؤمنين
Artinya: “Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.”
Juga dalam surah ash-Shaaffaat ayat 71, yang berbunyi:
ولقد ضل قبلهم أكثر الأولين
Artinya: “Sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (orang Quraisy) sebagian besar dari orang-orang dahulu.”
BACA JUGA: Ini Kota Pertama di AS yang Berpenduduk Mayoritas Muslim
Ayat-ayat yang saya sampaikan di atas rasanya sudah cukup untuk menunjukkan pandangan Islam tentang suara mayoritas. Dalam Islam, tolok ukur benar dan salah, baik dan buruk, adalah kesesuaiannya dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan didukung oleh mayoritas atau hanya minoritas.
Sekalipun mayoritas manusia menganggap baik aktivitas ribawi perbankan, tetap saja Islam menyatakannya haram dan buruk bagi manusia. Sekalipun mayoritas manusia menganggap baik pakaian wanita saat ini yang setengah telanjang, tetap saja dalam Islam hal tersebut haram dan salah. Sekalipun yang menginginkan dan memperjuangkan diterapkannya Syari’ah Islam secara kaffah di bumi Indonesia dan seluruh bumi ini hanya minoritas, tetap saja Islam memandang baik hal tersebut, dan menganggap buruk setiap penentangnya. Inilah pandangan Islam yang jernih, hanya orang-orang yang menutup diri dari kebenaran yang tidak mau menerima pandangan ini. []
Wallahul musta’aan.
Web: Abufurqan.net
Facebook: Muhammad Abduh Negara