Oleh: Abu Muhammad Waskito
Akhi wa Ukhti rahimakumullah..
TAHUKAH Anda, saat kapan dunia pertanian di Indonesia serasa mengalami pesta besar yang sangat meriah? Ketika itu, semua mata dan akal manusia memuji dan mengelu-elukan dunia pertanian. Ia terjadi tidak lama setelah meledak Krisis Moneter tahun 1997-1998 lalu.
Pasca Krisis Moneter banyak orang mengutuk dunia perbankan, pasar valas, bursa saham, investasi dan sebagainya. Mereka menganggap semua itu sebagai biang Krisis Moneter. Lalu pandangan mereka dialihkan ke dunia agrobisnis dan agroindustri.
Ketika itu dunia pertanian dipuji-puji. Bahkan saya masih ingat, waktu itu banyak karyawan sektor keuangan di-PHK, lalu mereka banting setir menjadi petani. Ada yang menanam sayuran, jamur, bunga, memelihara ikan hias, sampai membudi-dayakan kodok, cacing, jangkrik, dan lain-lain.
Harumnya tanah pertanian… Hayo!
Namun saat ini, kekaguman kepada dunia pertanian sudah amblas. Seperti ungkapan, “Hangat-hangat tahi ayam.” Minat masyarakat kita kepada dunia pertanian bersifat temporer. Hanya kalau terpaksa saja, mereka peduli dunia pertanian. Kalau dunia industri sudah pulih, pasar uang menggeliat, dunia pabrik marak lagi, mereka pun kembali ke dunia semula.
Pertanian hanya dibutuhkan, kalau terdesak. Jika situasi lapang, mereka akan memandang dunia pertanian dengan tatapan sinis, sentimen, bahkan membenci. “Apaan dunia pertanian? Dapat apa dari dunia macam begitu? Apa bisa dunia pertanian ngongkosi selera dugem?”
Sungguh, dunia pertanian ini sangat penting bagi kita. Dr. Aida Vitalaya, seorang pakar pertanian dari IPB (mungkin saat ini beliau sudah menjadi guru besar). Ketika di Indonesia lagi marak-maraknya popularitas IPTN yang sukses memproduksi pesawat, beliau pernah mengatakan, “Meskipun bangsa kita mampu membuat pesawat, tetap saja kita makan nasi.” Begitu kurang lebih ungkapan beliau.
Ungkapan itu maknanya dalam. Biarpun teknologi telah maju setinggi apapun, sebagai makhluk biologis kita tetap membutuhkan makanan dari bahan-bahan organik. Kita tidak mungkin makan dari bahan-bahan anorganik (non makanan). Artinya, nasib manusia tidak bisa dipisahkan dari dunia pertanian, sebab dunia inilah yang memproduksi makanan untuk manusia.
Dalam film Abad 21 yang dibintangi para penyanyi dari grup nasyid Raihan, di sana digambarkan suatu komunitas Muslim yang mendiami suatu area tertentu yang sarat dengan teknologi. Bukan hanya teknologi digital, tetapi sampai cuaca di daerah itu pun bisa dimanipulasi. Kalau melihat film ini, betapa kagumnya kita dengan dunia kecanggihan teknologi.
Tetapi satu hal yang tidak disentuh dari film tersebut, yaitu penyediaan suplai makanan. Dari mana mereka bisa bertahan tanpa suplai makanan? Mungkinkah mereka akan makan dari bahan kardus, plastik, karet, logam, bahan karbon, sisa-sisa IC, RAM, hard disk, dan lain-lainnya.? Jelas tidak mungkin.
Tubuh manusia hanya ramah dengan bahan-bahan organik yang sehat. Jika tubuh kita kemasukan zat-zat anorganik, organ-organ tubuh kita akan rusak. Salah satu buktinya, ada puluhan ribu bayi-bayi di Cina mengalami gangguan ginjal, setelah ditemukan skandal “Susu berbahan melamin” di negara tersebut. Hanya bahan organik yang ramah bagi tubuh.
Secara perhitungan bisnis, usaha di bidang pertanian tidak mengenal kata TAMAT. Bisnis pertanian selalu memiliki prospek cerah, sebab selamanya manusia selalu membutuhkan bahan pangan. Jika ada masalah utama dalam bisnis ini, ialah harga produk pertanian yang bersifat fluktuatif.
Jika panen raya, harga turun; jika masa paceklik, harga meroket. Kemudian, tentang masalah pembusukan produk pertanian. Jika produk itu tidak cepat dijual, ia akan membusuk. Kecuali kalau dilakukan usaha-usaha pengawetan. Itulah dua problem tradisional yang dihadapi para petani. Sementara di dunia bisnis lain, problemnya jauh lebih banyak.
Prospek dunia pertanian sangat kuat. Apalagi jika kita bisa menjangkau pasar ekspor. Dunia pertanian bisa menjadi andalan penghasilan yang mapan. Sebagai contoh, produk CPO (Crude Palm Oil) dari kelapa sawit sangat besar bagi Grup Bakrie. Bahkan bisa dikatakan, bisnis minyak sawit inilah yang telah menyelamatkan bisnis Grup Bakrie. Akbar Tandjung dan keluarga Megawati juga memiliki basis bisnis yang besar di bidang kelapa sawit ini.
Mengapa hal ini saya tekankan? Sebab, ada sebuah FAKTA yang sangat membuat hati kita miris. Saat ini, banyak usaha-usaha agrobisnis yang dimiliki orang-orang Cina. Mereka memiliki perkebunan, persawahan padi, usaha perikanan, peternakan, penangkapan ikan laut.
Seorang kawan pernah mengatakan, bahwa di daerah agrobisnis Lembang, banyak tanah-tanah yang dimiliki orang Cina. Mereka tidak terjun menjadi petani, tetapi cukup memakai tangan-tangan warga lokal untuk mengelola usaha pertanian itu. Kawan yang lain juga mengatakan, bahwa pengepulan bambu pun banyak dikuasai orang Cina. Kalau Anda melihat acara-acara TV, di sana banyak usaha-usaha agrobisnis yang dikelola orang Cina. Padahal semula, usaha-usaha itu biasa dikelola oleh warga pribumi Muslim.
Orang-orang Cina sangat belajar dari kasus Krisis Moneter 1997. Sejak itu mereka sangat menghargai bisnis di bidang pertanian. Sementara orang-orang kita sikapnya “Hangat-hangat tahi ayam.” Kita berminat kepada dunia pertanian hanya sesaat saja, setelah itu kita abaikan lagi. Amat disayangkan, sangat memprihatinkan.
Sikap tidak konsisten ini juga menimpa kalangan organisasi-organisasi Islam. Mereka semula juga memberi perhatian terhadap dunia pertanian, pasca Krisis Moneter. Tetapi setelah kondisi berubah, mereka berubah pikiran lagi. Padahal seharusnya, kita berpijak kepada PEMIKIRAN ASASI, bukan berpijak di atas fakta-fakta sosial yang selalu berubah-ubah.
Sebuah apresiasi yang tinggi layak kita sampaikan kepada sebuah pesantren agrobisnis Al Ittifaq di Ciwidey, Kabupaten Bandung. Mereka konsisten sejak awal mengelola usaha pertanian dan tidak berubah minat meskipun masyarakat mengabaikan bidang pertanian. Bahkan pesantren ini menjadi proyek percontohan bagi pesantren-pesantren lain.
Akhi wa Ukhti rahimakumullah…
Dunia pertanian adalah anugerah khas Allah Ta’ala kepada bangsa kita. Sejak lama kita dikenal sebagai bangsa agraris. Andaikan bangsa kita tidak menambang barang-barang tambang, namun hanya memaksimalkan dunia pertanian saja, insya Allah hal itu bisa mencukupi kebutuhan hidup kita.
Dulu di jaman Orde Baru, Indonesia dikagumi dunia dengan dunia pertaniannya. Namun kini, semua berubah. Kita seperti kata ungkapan, “Anak ayam mati di lumbung padi.” Kita hidup menderita di tengah kesuburan dan kekayaan alam hayati Indonesia.
Bukan sesuatu yang aneh jika almarhum Buya Muhammad Natsir, mendorong kaum Muslimin di Indonesia sangat memberi perhatian kepada dunia pertanian. Dan hal ini sering diabaikan oleh generasi muda kaum Muslimin. Dibandingkan perdebatan seru seputar isu-isu politik, dunia pertanian memang tidak menarik. Tetapi di sini ada fondasi masa depan Umat Islam, khususnya di Indonesia ini. Jika dunia pertanian sudah berpindah tangan ke orang Cina dan orang-orang asing, alamat kehancuran Ummat kita sudah di ambang pintu. (Jika itu yang terjadi, maka tidak ada yang lebih disesali, selain diri kita sendiri).
Saya menasehatkan kepada kaum Muslimin agar kembali memperhatikan dunia pertanian. Mohon jangan diabaikan dunia ini. Inilah benteng terakhir kekuatan kita, setelah kaum Muslimin kalah bersaing di dunia bisnis perkotaan dan industri. Gerakan-gerakan mahasiswa Muslim sebaiknya ikut peduli. Mereka jangan sibuk berdebat soal isu-isu politik melulu, lalu mengabaikan benteng ekonomi Ummat ini. Harus ada konsentrasi serius di bidang ini.
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Semoga Allah menolong kaum Muslimin untuk memperbaiki kehidupan mereka, memperbaiki keimanan dan martabat mereka. Allahumma amin. []