SHALAT adalah ibadah yang agung. Ia juga merupakan ibadah yang urgen dan penting untuk senantiasa di jaga. Di sisi lain, banyak pula keutamaan-keutamaan dari ibadah shalat. Maka dengan begitu tingginya kedudukan shalat dalam Islam, meninggalkan ibadah ini pun berat konsekuensinya. Silakan simak penjelasan berikut.
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS. Al-Baqarah: 43).
BACA JUGA: Shalat Malam Malik bin Dinar
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling” (QS. Al Baqarah: 83).
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah” (QS. Al Baqarah: 110).
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan agar mereka mendirikan shalat serta bertakwa kepada-Nya”. Dan Dialah Tuhan yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan” (QS. An An’am: 72).
Maka mendirikan shalat adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala.
Shalat juga salah satu dari rukun Islam. Dari Ibnu Umar radhiallahu’amhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Islam dibangun di atas 5 perkara: bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari no.8, Muslim no. 16).
Tidak semua ibadah termasuk rukun Islam. Ini menunjukkan ibadah-ibadah yang termasuk rukun Islam adalah ibadah yang sangat penting dan urgen. Dan diantaranya adalah shalat.
Dengan begitu tingginya dan utamanya kedudukan shalat dalam Islam, meninggalkan ibadah ini pun berat konsekuensinya. Orang yang meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat 5 waktu itu tidak wajib, maka ia keluar dari Islam. Ini adalah ijma ulama tidak ada khilafiyah di antara mereka. Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
“Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat, atau ia mengingkari wajibnya shalat walaupun tidak meninggalkan shalat, maka ia kafir murtad dari agama Islam berdasarkan ijma ulama kaum Muslimin” (Al Majmu’, 3/14).
Dalil Al Qur’an
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan hendaknya mereka mendirikan shalat dan janganlah menjadi orang-orang yang Musyrik” (QS. Ar Rum: 31).
Allah menyebutkan dalam ayat ini, diantara tanda orang-orang yang menjadi musyrik adalah meninggalkan shalat. Allah Ta’ala juga berfirman:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 59).
Pada ayat-ayat selanjutnya Allah Ta’ala menyebutkan tentang keadaan kaum Mukmin beserta nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Lalu di ayat ini Allah menyebutkan kaum yang lain yang bukan kaum Mukminin. Dan salah satu ciri mereka adalah menyia-nyiakan shalat.
Dalil As Sunnah
Disebutkan juga dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Pembatas bagi antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim no. 82).
Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir” (HR. At Tirmidzi no. 2621, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika beliau memimpin kami untuk memerangi suatu kaum, maka beliau tidak menyerang hingga waktu subuh.
Beliau menunggu terlebih dahulu. Jika terdengar suara adzan, maka kami menahan diri (tidak menyerang). Namun jika tidak terdengar adzan maka baru kami serang” (HR. Bukhari no. 610, Muslim no. 1365).
Hadits ini menunjukkan bahwa kaum yang masih menegakkan shalat maka dihukumi sebagai kaum Muslimin dan tidak boleh diperangi. Sedangkan jika tidak menegakkan shalat maka dihukumi sebagai orang kafir dan diperangi (bersama ulil amri).
Kemudian perhatikan dua hadits berikut. Dari Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda,
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci, mereka pun benci kepada kalian. Kalian pun melaknat mereka, mereka pun melaknat kalian”.
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apakah kita perangi saja mereka dengan senjata?”. Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup bencilah perbuatannya, namun jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim no. 2155).
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, ia berkata:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami. Ketika membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin, baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati (pemimpin).
Kecuali ketika kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan Allah” (HR. Bukhari no. 7056, Muslim no. 1709).
Hadits Ubadah bin Shamit menyatakan bahwa pemimpin yang melakukan kekufuran yang nyata bisa diperangi. Sedangkan dalam hadits Auf bin Malik, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang memerangi pemimpin selama masih shalat. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran yang nyata.
Dan para sahabat Nabi ijma’ (bersepakat) bahwa orang yang meninggalkan shalat 5 waktu maka dia keluar dari Islam. Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili mengatakan:
“Dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memandang ada amalan yang bisa menyebabkan kekufuran jika meninggalkannya, kecuali shalat” (HR. At Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dari Musawwar bin Makhramah radhiallahu’anhu:
“Ia masuk ke rumah Umar bin Khathab bersama Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma ketika Umar (pagi harinya) ditusuk (oleh Abu Lu’luah). Maka Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata: Wahai Amirul Mukminin, ayo shalat! Umar pun menjawab: betul, tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang menyia-nyiakan shalat” (HR. Malik dalam Al Muwatha, 1/39, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 1/225).
Demikian juga ternukil ijma dari kalangan tabi’in. Dari Ayyub bin Abi Tamimah As Sikhtiyani, beliau mengatakan:
“Meninggalkan shalat dalah kekufuran, kami (para tabi’in) tidak berbeda pendapat dalam masalah tersebut” (HR. Al Marwadzi dalam Ta’zhim Qadris Shalah, no. 978).
BACA JUGA: Cara Orang Shalat Ketika Sakit
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:
“Jika seseorang mengakui wajibnya shalat namun ia dikalahkan oleh rasa malas dan meremehkan shalat. Maka para ulama berbeda pendapat apakah ia kafir atau tidak. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang meninggalkan satu shalat wajib saja hingga keluar waktunya maka dia kafir.
Sebagian ulama berpendapat ia tidak kafir kecuali jika ia meninggalkan seluruh shalat. Inilah pendapat yang benar. Yaitu seseorang menjadi kafir jika meninggalkan shalat secara mutlak. Karena ini berarti ia tidak ada keinginan sama sekali untuk shalat.
Oleh karena itulah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pembatas bagi antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat.”
Zhahir hadits ini menunjukkan yang dimaksud Nabi adalah jika meninggalkan shalat secara mutlak. Demikian juga hadits Buraidah: “Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir.” []
SUMBER: MUSLIM