DARI Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku telah mewasiatkan aku tiga hal agar aku jangan tinggalkan sampai mati. 1. Puasa tiga hari setiap bulan. 2. Shalat dhuha. 3. Shalat witir sebelum tidur,” (HR. Bukhari No. 1124, 1880, Muslim No. 721, Abu Daud No. 1432, Ad Darimi No. 1454, 1745).
Hadits ini dengan jelas menyebutkan shalat dhuha sebagai sunah yang mesti dijaga dan jangan sampai ditinggalkan hingga wafat. Dan, kesunahannya disetarakan dengan shalat witir dan puasa ayyamul bidh. Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam Shahihnya, pada Kitab Abwab Ath Tathawwu’ (Bab Macam-Macam Shalat Tathawwu’/sunah), pada Bab Shalatudh Dhuha fil Hadhar (Shalat Dhuha Ketika Mukim). Penjudulan dari Imam Bukhari ini sekaligus bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali melaksanakan shalat dhuha yakni ketika pulang dari safar (perjalanan jauh), yang dengan ini mereka berpendapat tidak ada shalat dhuha kecuali karena adanya sebab, di antaranya safar.
BACA JUGA: Shalat Dhuha
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil sunahnya shalat dhuha, lalu beliau menambahkan:
وعدم مواظبة النبي صلى الله عليه وسلم على فعلها لا ينافي استحبابها لأنه حاصل بدلالة القول، وليس من شرط الحكم أن تتضافر عليه أدلة القول والفعل، لكن ما واظب النبي صلى الله عليه وسلم على فعله مرجح على ما لم يواظب عليه
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merutinkan shalat dhuha, tapi tidak berarti menghilangkan kesunahan shalat dhuha tersebut, sebab kesimpulan sudah bisa diambil dari ucapannya ini. Dan, hukum tidaklah disyaratkan mesti terjadinya jalinan antara ucapan dan perbuatan, tetapi memang perbuatan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rutinkan, dia lebih kuat anjurannya dari yang tidak Beliau rutinkan,” (Fathul Bari, 3/57. Darul fikr).
Hadits Keempat:
Dari Nu’aim bin Hammar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قال الله عزوجل: ابن آدم لا تعجزن عن أربع ركعات في أول النهار أكفك آخره
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Wahai Anak Adam, jangan sekali-kali kamu malas mengerjakan empat rakaat pada awal siang (shalat dhuha), nanti akan Aku cukupi kebutuhanmu pada akhirnya (sore hari),” (HR. Abu Daud No. 1289, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1289 dan Shahih At Targhib wat Tarhib No. 673, juga diriwayatkan oleh Ahmad dari jalur Abu Darda dengan sanad shahih li ghairih, lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 672, At Tirmidzi juga dari Abu Darda, dan beliau mengatakan hasan gharib, dan Syaikh Al Albani menghasankan dalam Shahih At targhib wat Tarhib No.672 ).
Ada juga yang agak mirip dengan hadits di atas, dari Abu Murrah Ath Thaifi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قال الله عز وجل ابن آدم صل لي أربع ركعات من أول النهار أكفك آخره
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Wahai Anak Adam, shalatlah untukKu sebanyak empat rakaat dari awal siang, niscaya akan Aku cukupi kebutuhanmu pada akhirnya,” (HR. Ahmad, para perawinya dijadikan hujjah oleh para ulama dalam kitab Ash Shahih. Syaikh Al Albani menyatakan Shahih li ghairih pada Shahih At Targhib wat Tarhib No. 674).
BACA JUGA: Keutamaan dan Manfaat Shalat Dhuha, Mulai Diampuni Dosa sampai Dimudahkan Rezeki
Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi memasukkan hadits ini dalam Bab Shalat Dhuha. Artinya, makna shalat empat rakaat pada awal siang adalah shalat dhuha, dan sekaligus ini menunjukkan kesunahannya. Berkata Imam Al ‘Aini:
وحمل العلماء هذه الركعات على صلاة الضحى
“Dan para ulama memaknai rakaat ini adalah shalat dhuha,” (Imam Badruddin Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/187. Maktabah Ar Rusyd) Hal ini juga dikuatkan oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim, setelah beliau mengurai berbagai pendapat tentang makna ‘empat rakaat’. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 4/119. Cet. 2, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Ada pun Imam Ibnu Taimiyah memaknainya sebagai shalat subuh dan shalat sunahnya, sebagaimana yang didengar oleh Imam Ibnul Qayyim. (Zaadul Ma’ad, 1/360. Cet. 3, 1986M. Muasasah Ar Risalah, Beirut). []