KEHILANGAN janin karena keguguran merupakan pengalaman pahit bagi seorang perempuan. Namun, semua itu harus tetap dilalui dengan sabar.
Adapun mengenai janin yang gugur, masih banyak yang mempertanyakan, haruskah janin tersebut diberi nama atau tidak?
Bagaimana pandangan syariat tentang hal tersebut?
Menurut Maharati Marfuah Lc, ustadzah dari Rumah Fikih Indonesia, sebenarnya para ulama telah membahasnya. Kendati demikian, tetap ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka.
Jika janin telah keluar, telah ada pula tanda kehidupannya seperti bernafas, berteriak atau menangis maka ulama sepakat jika janin itu telah menjadi bayi atau manusia pada umumnya. Maka semua ulama sepakat bahwa bayi yang telah keluar dalam keadaan hidup, lantas meninggal itu diberi nama. Karena bayi itu telah memiliki ruh dan menjadi manusia.
BACA JUGA: Masya Allah, Janin Bersujud saat Dibacakan Ayat Alquran
Sedangkan janin yang meninggal dahulu sebelum keluar dari rahim ibunya disebut dengan as-siqthu (السقط). Para ulama berbeda pendapat terkait pemberian nama kepada as-siqthu ini.
Berikut pendapat dari 4 mazhab tentang pemberian nama tersebut:
1 Mazhab Hanafi
Menurut ulama Hanafiyyah, janin tersebut tak usah diberi nama jika keluar dari rahim dalam keadaan meninggal. Bayi diberi nama hanya ketika ada tanda kehidupan setelah keluar dari rahim.
Disebutkan dalam kitab Badai’ as-Shanai’:
رُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ قَالَ: إذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ سُمِّيَ وَغُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَوَرِثَ وَوُرِثَ عَنْهُ، وَإِذَا لَمْ يَسْتَهِلَّ لَمْ يُسَمَّ وَلَمْ يُغَسَّلْ وَلَمْ يَرِثْ. وَعَنْ مُحَمَّدٍ أَيْضًا أَنَّهُ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَهَكَذَا ذَكَرَ الْكَرْخِيُّ وَرُوِيَ عَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَكَذَا ذَكَرَ الطَّحَاوِيُّ. (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع (1/ 302)
“Diriwayatkan dari Abu Hanifah beliau berkata: Ketika bayi berteriak setelah dilahirkan maka diberi nama, dimandikan, dishalatkan, mewarisi dan diwarisi. Jika belum berteriak maka tak diberi nama…” (al-Kasani, Badai’ as-Shanai’, 1/ 302).
Alauddin as-Samarqandi (wafat 540 H); salah seorang ulama mazhab Hanafiyyah menyebutkan bahwa tanda bayi dianggap masih hidup ketika keluar dari rahim ibunya adalah ketika berteriak atau menangis. Maka jika keluar sudah meninggal itu belum dianggap bayi.
وَلَا يصلى على من ولد مَيتا لما رُوِيَ عَن النَّبِي عَلَيْهِ السَّلَام أَنه قَالَ إِذا اسْتهلّ الْمَوْلُود صلي عَلَيْهِ وَمن لم يستهل لم يصل عَلَيْهِ لِأَن الاستهلال دلَالَة الْحَيَاة وَالْمَيِّت فِي عرف النَّاس من زَالَت حَيَاته لَا يعلم أَنه خلقت الْحَيَاة فِيهِ أم لَا فَلم يعلم بِمَوْتِهِ وَلِهَذَا قُلْنَا إِنَّه لَا يَرث وَلَا يُورث وَلَا يغسل وَلَا يُسمى لِأَن هَذِه أَحْكَام الْأَحْيَاء وَلم تثبت حَيَاته. (تحفة الفقهاء، محمد بن أحمد بن أبي أحمد، أبو بكر علاء الدين السمرقندي (المتوفى: نحو 540هـ)، 1/ 248)
“… Seorang disebut mati jika diketahui sudah pernah hidup. Maka bayi yang lahir dalam keadaan tak bernyawa itu tidak mewarisi, diwarisi, dimandikan, diberi nama. Karena hukum itu berlaku untuk manusia yang diketahui hidupnya.” (as-Samarqandi, Tuhfat al-Fuqaha’: 1/ 248)
BACA JUGA: Menggugurkan Janin yang Cacat, Bolehkah? (2-Habis)
2 Mazhab Maliki
Ulama Malikiyyah juga berpendapat sama dengan mazhab Hanafiyyah yang tak memberi nama kepada janin ketika lahir tidak dalam keadaan masih hidup. Sebagaimana pernyataan dari Imam Malik bin Anas:
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُصَلَّى عَلَى الصَّبِيِّ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ، وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُغَسَّلُ وَلَا يُحَنَّطُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ خَرَجَ مَيِّتًا (المدونة، 1/ 255)
“Malik berkata: Bayi itu tidak dishalatkan, tidak mewarisi dan diwarisi, tidak diberi nama, tidak dimandikan selama tidak berteriak atau menangis. Karena bayi itu dianggap mati sebelum keluar dari rahim.” (Malik bin Anas, al-Mudawwanah: 1/ 255).
3 Mazhab Syafi’i
Sedangkan ulama Syafi’iyyah menyebutkan bahwa as-siqthu atau janin yang keluar sudah dalam keadaan meninggal tetap sunnah diberi nama. Imam an-Nawawi menyebutkan:
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَ أَصْحَابِنَا اسْتِحْبَابُ تَسْمِيَةِ السَّقْطِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَقَتَادَةُ وَالْأَوْزَاعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ لَا يُسَمَّى مَا لَمْ يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (المجموع شرح المهذب (8/ 448)
“Mazhab kita hukumnya sunnah memberi nama janin yang keluar meski sudah meninggal. Ini adalah pendapat dari Ibnu Sirin, Qatadah, al-Auza’i…” (an-Nawawi, al-Majmu’: 8/ 448)
Lantas bagaimana jika janin itu tak diketahui jenis kelaminnya? Diberi nama laki-laki atau perempuan?
Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyebutkan tetap diberi nama yang bisa untuk laki-laki dan perempuan. Seperti Hamzah, Thalhah, Hindun, dan lain-lain.
تُسَنُّ تَسْمِيَةُ سَقْطٍ نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى سُمِّيَ بِمَا يَصْلُحُ لَهُمَا كَهِنْدٍ وَطَلْحَةَ. (تحفة المحتاج في شرح المنهاج، 9/ 373)
“Disunnahkan memberi nama as-siqthu yang telah ditiupkan ruh meski keluar dari perut ibunya dalam keadaan meninggal. Meski tak diketahui laki-laki atau perempuan. Diberi nama yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan seperti Hamzah, Thalhah, Hindun.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj, 9/ 373).
BACA JUGA: Bagaimana Menyikapi Janin yang Diaborsi, Apa Harus Dishalatkan?
Dalam mazhab Syafi’i, jika janin masih berupa segumpal darah atau daging maka belum disebut as-siqthu. Maksudnya jika masih berupa segumpal darah atau segumpal daging itu tak disunnahkan diberi nama, meski juga tak dilarang. Sebagaimana pernyataan dari Imam an-Nawawi al-Jawiy (w. 1316 H):
وَخرج بِالسقطِ الْعلقَة والمضغة لِأَنَّهُمَا لَا يسميان ولدا. (نهاية الزين، محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني إقليما، التناري بلدا (المتوفى: 1316هـ) ص: 156)
“Tidak disebut as-siqthu jika masih berupa segumpal darah atau daging. Karena belum disebut sebagai anak manusia.” (an-Nawawi al-Jawiy, Nihayat az-Zain: 156)
4 Mazhab Hanbali
Ulama Hanbaliyyah berpendapat sama dengan mazhab Syafiyyah, sebagaimana perkataan dari Ibnu Qudamah:
(فصل) ويستحب أن يسمى السقط لأنه يروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “سموا أسقاطكم فإنهم أسلافكم” رواه ابن السماك باسناده (الشرح الكبير على متن المقنع (2/ 337)
“Pasal: Disunnahkan memberi nama as-siqthu atau bayi yang lahir dalam keadaan meninggal. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: Berilah nama as-siqthu kalian, karena mereka adalah orang yang telah mendahului kalian.” (Ibnu Qudamah, as-Syarh al-Kabir: 2/ 337)
Meski hadis yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Qudamah ini dianggap lemah. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikhnya. Sebagaimana pernyataan dari Alauddin dalam kitabnya Kanzul Ummal: 16/ 423. []
SUMBER: RUMAH FIQIH