JANJI dalam Islam, sungguh sangat berat konsekuensi sebuah janji.
“Aku janji jam 2 ini ke rumah fulan”
“Kalau kau bisa lulus ujian nanti, aku janji akan memberimu Hp”.
“Bila di lingkungan tempat tinggal kita ada pengajian saya orang pertama yang akan hadir”.
Kutipan kalimat ini setidaknya bisa mewakili betapa mudahnya seseorang mengumbar janji. Mudah melontarkannya tapi sulit memenuhinya. Tadinya berniat menyenangkan orang lain tapi ternyata lupa dengan konsekuensinya. Padahal janji itu sejatinya adalah kepada Allah yang kelak akan dihisab.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
Sebagian ulama mengatakan bahwa “janji-janji” di sini bersifat umum baik janji kepada Allah maupun janji kepada manusia. Janji kepada Allah meliputi nazar dan sumpah.
Demikian pula halnya janji kepada manusia mencakup kewajiban kita kepada orang tua, istri, suami, dan anak.
Janji dalam Islam, dalam Muamalah
Begitu pula berkaitan dengan akad-akad muamalah. Kita harus benar-benar memperhatikan janji-janji atau akad-akad kita, karena konsekuensi sebagai orang beriman adalah menjalankan hal tersebut dengan sebaik-baiknya.
Dalam Islam setiap janji berlaku hanya untuk perkara yang baik. Bila menyalahi syari’at maka janji tidak boleh ditunaikan. Baik kepada Allah yakni berupa nazar ataupun kepada manusia.
Membayar kafarat atau denda akan lebih baik dibandingkan harus menunaikan nazar yang tidak sesuai dengan syariat. Kafarat nazar atau sumpah ada 3, yakni membebaskan budak, memberikan makan atau pakaian kepada 10 orang miskin dan puasa 3 hari.
BACA JUGA: Orang Beriman, Ini 8 Janji Allah untuk Anda
Sedangkan janji kepada manusia maka mengambil risiko lebih baik dibandingkan harus menunaikan janji berupa maksiat. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir QS. An-Nahl: 91)
Janji dalam Islam, Jika Tidak Mampu Memenuhi
Bila tidak mampu memenuhinya karena alasan tertentu maka wajib baginya untuk memberitahukan kepada objek yang dijanjikan. Bukan mendiamkan atau dengan sengaja melupakannya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? sangatlah besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS. As-Saff ayat 2-3)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sebagian kaum mukmin berkata “Demi Allah, jikalau kami mengetahui amal yang paling dicintai Allah, kami pasti akan melaksanakannya”. Lalu Allah menurunkan QS. Al-Shaf [61]: 2-4. Pada ayat keempat Allah memberitahukan amalan yang paling dicintainya, yaitu jihad di jalan Allah, namun mereka tidak senang. Ibn Katsir menjelaskan bahwa QS. Al-Shaf [61]: 2 merupakan bentuk pengingkaran terhadap sikap orang yang berjanji namun tidak ditepatinya atau yang berkata namun tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya.
Janji dalam Islam, Penuhi Secara Mutlak
Melalui QS. As-Saff ayat 2-3 ini, para ulama salaf menjadikannya dalil mengenai wajibnya menepati janji secara mutlak. Baik itu janji yang bisa mengakibatkan denda atau tidak.
BACA JUGA: Hukum Menepati Janji
Para ulama salaf tersebut juga berhujjah dengan hadis shahih, Rasulullah bersabda “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: ketika berkata, dia berbohong, ketika dia berjanji, dia mengingkari, dan ketika dipercaya, dia berkhianat.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibn al-Kaṡīr, juz 8, hal 105).
Tentu tidak ada kan yang mau dicap pendusta, bahkan setiap berucap tak ada lagi yang mau percaya dengannya. Semua itu tak lain akibat menyepelekan konsekuensi dari setiap ucapan yang keluar dari lisannya.
Wallahu a’lam bi showab. []