Oleh: Dwi P. Sugiarti
Aktivis Revowriter dan Ibu Rumah Tangga
MALAM itu teleponku berdering. Ada telepon dari bapak.
“Assalamu’alakum Nak, sehat?”
“Alhamdulillah Pak, sehat.”
“Nak, ada yang bapak mau tanyakan.”
“Tadi ada yang menelpon bapak, katanya bapak dapat kiriman paket. Apa itu dari kamu, Nak?”
Aku berpikir agak lama barangkali aku pernah memesan sesuatu dan kualamatkan ke rumah bapak. Tapi rasanya tidak.
“Tidak pak, memang paketnya isinya apa apa?”
“Bapak belum tahu, niatnya bapak mau mengambilnya besok ke tempat jasa pengirimannya.”
“Hati-hati Pak. Takutnya ada orang yang punya niat nggak baik ke bapak.”
“Saran aku sih mending tidak usah diambil kalau memang merasa tidak pernah memesan sesuatu.”
“Oh, iyaa nak. Ya sudah bapak tutup ya telponnya.“
Aku merenung dalam hati, “Kalau tidak diterima takutnya barang penting atau bisa jadi paket itu dari mbak gina, kakakku atau adik pertamaku, Dian.”
Langsunglah kuhubungi mereka dan terjawablah sudah bahwa paket itu dari adikku, Dian. Ia membelikan sebuah jas hujan untuk bapak.
Allahu Robbi. Selama ini ia berpikir tentang keadaan di rumah terutama Bapak. Apalagi sekarang sedang musim hujan. ia mungkin berpikir bahwa bapak sering mondar-mandir dari rumah ke pasar dan pastinya tak memakai jas hujan. Sehingga akhirnya ia membelikan sesuatu yang saat ini sedang dibutuhkan oleh bapak.
Dulu, ketika aku masih tinggal dengan Bapak,ketika musim hujan datang bapak memang lebih sering menutup kepalanya dengan tas kresek ketika hendak pulang ke rumah mengambil barangan dagangan dengan motor tuanya. Padahal bapak sudah tua. Usianya sudah menginjak 60 tahun. Namun bapak masih punya tenaga untuk berjualan di pasar dengan ibu.
Cerita singkat diatas mungkin hanya sebuah cerita tentang pemberian seorang anak kepada orang tuanya. Dan alaminya seorang anak, pasti akan memberikan sesuatu kepada orang tuanya karena ia sadar bahwa orang tuanyalah yang selama ini berjasa dalam hidupnya.
Namun lebih dari itu cerita di atas mengajarkan kita tentang arti sebuah kepekaan atau empati dan kepedulian ketika memberi. Sebuah hal yang kecil namun lahir dari hasil rasa empati yang kuat tentu akan jauh lebih berharga nilainya dibanding sebuah pemberian besar tapi tak tepat “sasaran”. Walaupun bukan berarti menjadi salah ketika memberi sesuatu yang memiliki nilai besar.
Sering kali kita yang sudah berkeluarga dan tidak lagi tinggal dengan orang tua kita membawa sesuatu ketika berkunjung ke rumah orang tua kita. Sebagai orang tua tentu mereka senang diberikan sesuatu apalagi oleh anaknya sendiri yang selama ini telah dirawat hingga ia dewasa. Namun terkadang pemberian kita kurang tepat karena kurangnya rasa empati. Misalnya, ketika orang tua kita merasa lelah setelah berkerja seharian kemudian kita memijitnya atau memberikan teh hangat sebagai pelepas lelah tentu akan jauh lebih berharga daripada kita memberikannya uang dan memintanya untuk berhenti bekerja. Memang tak ada yang salah dengan pemberian apapun yang kita berikan kepada orang lain. Namun ada baiknya kita mau untuk sedikit memahami orang lain dengan rasa empati.
Seperti sebuah kisah yang pernah ada di zaman Rasulullah ketika Abu Hurairah kelaparan namun ia tak berani mengatakan bahwa dirinya sedang lapar hingga ia mengajukan pertanyaan seputar agama kepada setiap sahabat yang dijumpainya dan berharap diajak makan oleh sahabat. Namun rupanya hal tersebut tak berhasil hingga bertemu dengan Rasulullah dan ternyata beliau mengetahui bahwa Abu Hurairah sedang lapar maka Rasulullahpun mengajak Abu Hurairah untuk ke rumahnya dan di rumah rasulullah Abu Hurairah meminum susu hingga kenyang.
Semoga kita bisa belajar menumbuhkan rasa empati dalam diri-diri kita sebab bisa jadi hal tersebut adalah sebuah kebaikan yang bernlai pahala. Wallahu’alam. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.