SESUNGGUHNYA suara hati akan diterima oleh hati, dan suara lisan hanya akan masuk ke telinga. Itu pun jika telinganya mendengar yang diucapkan lisan. Jika tidak? Semuanya akan berlalu begitu saja, sia-sia tanpa makna, tanpa isi yang berarti.
Suara lisan yang tidak dibarengi hati, hanya akan menjadi suara yang hambar dan bias sebagaimana Imam -Ghazali menasihati,
“Kullu mâ kharaja minal qalbi dakhala ilal qalbi. Wakulu ma kharaja minal fammi dakhala ilal udzuni.” Yang artinya: “Segala sesuatu yang berasal dari hati akan masuk ke dalam hati, dan segala sesuatu yang keluarnya dari mulut akan masuk ke telinga.”
BACA JUGA: Sebelum Mencari Ilmu, Sucikan Hati dari Segala Kotoran dan Dengki
Setiap kata-kata yang terucap dari lisan harus dibarengi oleh hati jika ingin penuh arti. Senyum tulus pun akan membekas dalam hati jika berasal dari hati sebagaimana syair Raihan, “Senyuman dari hati jatuh ke hati.”
Sesungguhnya suara hati yang mengalir melalui ucapan lisan akan memiliki power (kekuatan) yang mengalirkan energi positif ke dalam jiwa yang mendengarnya. Ia mudah dicerna, gampang dipahami, dan nyaman diterima pendengarnya.
Dengan mata hati, setiap kali Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaiakan ilmunya di Baghdad, Ibu Kota Daulah Abbasiyah itu selalu penuh sesak. Majelis yang digelarnya selalu dihadiri oleh kurang lebih sebanyak 50.000 orang pendengar.
Bergetar hati setiap orang yang hadir di majelis itu, sehingga banyak di antaranya yang menangis tersedu-sedu. Mereka mengiba dengan penuh harap dan cinta kepada Allah SWT.
Berkat jasa Ibnul Jauzi sang pengarang kitab Shaidul Khathir ini, 30.000 orang yang tersesat bisa kembali menemukan jalan Allah SWT. Hidayah!
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2]: 157)
Demikianlah orang-orang yang berilmu memaknai pola menyampaikan gagasan, dengan ilmu dan kebeningan sanubari. Yang dengannya kata-kata mereka mampu menembus lapisan hati dan menyapa relung-relung jiwa.
BACA JUGA: Agama, Wahyu Allah dan Pembersih Hati
Sehebat apapun metode penyampaian materi, sebagus apa pun cara yang digunakan untuk memberikan pemahaman kepada orang lain, jika keluarnya hanya dari mulut, hanya akan diterima oleh telinga saja.
Saya bukan termasuk yang bisa bicara dari hati, namun mari ikhtiari diri agar bisa seperti mereka para ulama pendahulu kita. Belajar bicara dari hati agar diterima dan menjadi pemahaman yang merasuk ke dalam hati. Sehingga kata-kata pun menjadi penuh arti dan tak lekang sampai mati.
“Kata-kata kita menjadi boneka lilin, jika kita mati dan mempertahankannya. Maka saat itulah ruh merambatnya, hingga kalimat-kalimat itu hidup selamanya.” Inilah kata-kata Sayyid Quthub yang melegenda. Sungguh tafsir Fii Zhilâlil Qur’an telah jadi bukti bahwa kalimat Sayyid Quthub terus hidup meski raganya telah tiada. []