KAUM Kristiani lupa, misionaris Ottow dan Geisler bisa sampai ke Irian, karena jasa anak buah Sultan Tidore (seorang Muslim) yang memberi tumpangan perahu kepada misionaris itu hingga tersebarlah agama Kristen di bumi Irian.
Tak banyak yang tahu, orang Irian telah memeluk Islam sejak ratusan tahun silam. Namun, sejak masuknya Belanda ke Irian (1824), perkembangan Islam menjadi terhambat. Ketika itu, umat Islam mendapat tekanan oleh pemerintahan Belanda. Akibatnya, tak sedikit Muslim di kampung-kampung yang kembali murtad.
BACA JUGA: Pendidikan Sekuler VS Pendidikan Islam
Tahun 1885, penyebaran agama Kristen mulai berkembang di Irian, ketika Ottow dan Geisler, tokoh missionaris dari Jerman menyelusup ke Pulau Mansinam dengan menyamar sebagai tukang kayu. Kaum Kristiani lupa, Ottow dan Geisler bisa sampai ke Irian, karena jasa anak buah Sultan Tidore (seorang Muslim) yang memberi tumpangan perahu kepada misionaris itu hingga tersebarlah agama Kristen di bumi Irian.
Tokoh adat dari Kabupaten Kaimana, Umar Askad Sabuku mengatakan, image atau sudut pandang kebanyakan orang dalam memandang masyarakat Irian, cenderung salah kaprah. Dikiranya, Islam tak pernah tersentuh bahkan ada di bumi Irian. Padahal sebelum agama Kristen masuk, Islam sudah lama ada. Yakni sejak abad ke-13.
Keberadaan Islam di Fakfak (sebuah kabupaten di Provinsi Irian Jaya Barat) dimulai pada tahun 1214 dengan pendaratan Syeikh Fuad bin Syuar atau Syekh Puar, saudagar asal Hadramaut, Yaman. Versi lain mengatakan, Islam pertama kali diperkenalkan oleh Kerajaan Samudera Pasai, yakni melalui Syeikh Iskandar Syah. Perjalanan dakwah selanjutnya disusul oleh Kesultanan Ternate dan Tidore, setelah Belanda datang ke Irian.
Dari Fakfak, Islam berkembang hingga Kabupaten Raja Ampat, Babo, Bintuni dan Kaimana. Kerajaan Patuanan Patipi (Rajanya bernama Ismailah Ibah) adalah kerajaan pertama yang memeluk agama Islam. Selanjutnya diikuti oleh sembilan kerajaan lainnya, seperti: Kerajaan Atiati, Rumbati, Sekar, Arguni, Wertular, Fatagar, Waraguri, Namatota, dan Komisi. Sangat disayangkan, jika masa-masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Fakfak tidak mencuat dalam catatan sejarah. Ketika itu, Portugis betul-betul memberangus kerajaan-kerajaan Islam yang ada, sehingga terjadilah missing link atau terputusnya mata rantai sejarah.
Beragam versi ihwal masuknya Islam di tanah Irian. Menurut Umar Askad Sabuku, kontak budaya berawal sejak Irian didatangi oleh seorang mubaligh bernama Imam Zikir (tahun 1506). Kedatangan Imam Zikir bersamaan dengan masuknya Belanda ke Irian. Ihwal sosok Imam Zikir itu sendiri masih misteri, belum diketahui asal-usulnya. Hingga sekarang, belum ada penelusuran lebih lanjut. Konon, Imam zikir pernah berdakwah di sebuah negeri bernama Pulau ‘Adi (wilayah Irian). Pulau itu terdapat sebuah kuburan tua, yang belum diketahui jatidirinya.
Kehadiran Islam di tanah Irian, tentu tak terjadi dengan sendirinya. Ada kontak budaya yang secara langsung atau tak langsung saling mempengaruhi. Apalagi dari segi segi geografi, jarak Maluku (khususnya Maluku Tenggara dan Tengah) dengan Kaimana (Irian) sangat berdekatan, sehingga pengaruh Islam menjadi bukti bahwa agama ini berkembang di sana. Tapi uniknya, nuansa budaya Islam di Kaimana, justru terpengaruh dari Sumatera, bukan Jawa atau Maluku. Barangkali, dulu pernah ada tokoh yang ada di Pulau Sasungu (wilayah Irian), seorang pengikut Imam Bonjol yang bergelar Padri Raja. Hingga sekarang makamnya ada di Sasungu, dekat Teluk Karguni (3 jam perjalanan dari Kaimana).
“Saya sendiri sempat menjumpai Padri Raja disaat usianya telah uzur. Pakaiannya serba putih. Beliau wafat tahun 1970-an. Kepada beliaulah, orang-orang tua kami belajar mengaji,” ungkap Umar.
Setelah Imam Zikir, lalu datang da’i muda dari Maluku dan Jawa. Salah satu peninggalan Islam yang ada di Irian adalah bahasa Melayu. Sebagai catatan, bahasa Melayu ketika itu gunakan oleh pedagang Muslim untuk melakukan interaksi dengan penduduk asli. Bahasa itu digunakan sepanjang pesisir pantai Meraoke hingga Jayapura. Sejak terjadi kontak budaya, semua penduduk yang ada di seluruh pesisir pantai Irian telah beragama Islam. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, umat Islam malah menjadi minoritas. Kenapa bisa terjadi?
“Karena pedagang Muslim yang masuk ke Irian semata-mata untuk tujuan niaga. Mereka tidak membangun pemerintahan dan sarana pendidikan. Sehingga ketika mereka pergi, tidak ada pembinaan. Akibatnya umat Islam banyak yang murtad,” jelas Umar.
Nah, saat Belanda masuk, roda pemerintahan, pendidikan dan penyebaran agama dikuasai mereka. Jika di Kabupaten Sorong, Raja Ampat, Kaimana dan Fakfak, Islam tetap eksis, itu karena, dari sisi geografis, Maluku dengan kabupaten yang dihuni mayoritas Muslim tersebut sangat strategis, sehingga komunikasi tetap berkesinam-bungan. Ketika Sultan Ternate dan Tidore melakukan kontak budaya dengan Raja Tamatota, raja pertama di Kaimana itu akhirnya masuk Islam. Dan diikuti oleh rakyatnya.
BACA JUGA: Kontekstualisasi Semangat Islam Masa Kini
Masuk Misionaris
Dengan masuknya Belanda ke Irian (1824), perkembangan Islam menjadi terhambat. Akibat tekanan Belanda, tak sedikit komunitas Muslim yang hidup di kampung-kampung kembali murtad. Itu ditandai dengan kedatangan Ottow dan Geisler, seorang missionaris dari Jerman menyamar sebagai tukang kayu untuk membuat rumah di Pulau Mansinam. Karena kabarnya, Sultan Tidore ingin membangun sebuah kota di Manokwari. Kristen pun tersebar di bumi Irian.
Untuk menuju ke pulau itu, Ottow dan Geisler menumpang dengan perahu milik anak buah Sultan Tidore (seorang Muslim) yang ingin masuk ke Pulau Mansinam, Manokwari. Setiba di sana, Ottow & Geisler menjalankan misinya: menyebarkan Injil. Maka setiap tanggal 5 Februari, umat Kristiani selalu memperingati perayaan “Triple Gold”, sebuah momen bersejarah masuknya Injil ke Papua. Pesta ini dirayakan secara meriah, mulai dari karnaval, pesta kembang api hingga ibadah agung di Pulau Mansinam. Banyak para tamu yang datang, baik dalam maupun luar negeri, termasuk keluarga Ottow & Geisler turut memperingati peristiwa monumental itu. []