Oleh: Ridwan HD
KEBESARAN organisasi pun tak lepas mendapat ujian. Landasan ideologi Islam yang belum begitu kuat pada SI membuat beberapa anggotanya, terutama dari generasi muda yang juga murid-murid Tjokro sendiri seperti; Semaoen, Alimin, dan Muso, terpengaruh ide-ide sosialis-marxsis. Ketika Semaoen diangkat menjadi ketua SI Semarang, ide-ide sosialisme-marxisme dijadikan ideologi perjuangannya.
Mereka beranggapan Islam tidak cekatan dalam merespons perubahan serta terlalu lemah dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Anggapan itu atas dasar melihat perilaku para pimpian SI seperti Abdul Moeis, Agus Salim, termasuk Tjokro sendiri yang terlalu hati-hati dalam berhadapan dengan Pemerintah Hindia.
Begitu juga, keterlibatan SI ke dalam Voksraad (Dewan Rakyat bentukan pemerintah Belanda) menjadi kritik tajam dari kelompok Semaoen. Mereka menilai, Voksraad hanya alat kepentingan para kapitalis dan ‘komedi omong’. Bagi mereka, SI butuh gerakan yang lebih revolusioner untuk menekan para kapitalis dan pemerintah. Berbeda dengan Tjokro yang menganggap bahwa cita-cita pergerakan perlu dilakukan secara evolusioner dan bertahap.
BACA JUGA: Jejak-jejak Abadi Guru Bangsa (1)
Perubahan Semaoen, Alimin dan Muso menjadi radikal tak lepas dari pengaruh Propagandis Sosialis-Marxis asal Belanda yang bernama Sneevliet. Sneevliet datang ke Hindia tahun 1913. Ia mulai aktivitasnya di Surabaya dengan bergabung sebagai staf editor di Soerabajaasch Handelsblad, lalu setahun kemudian pindah ke Semarang dan mendirikan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging – Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Aktivitas ISDV awalnya adalah klub debat kaum sosialis Belanda. Seiring waktu, Sneevliet mulai mengajak kalangan pribumi, seperti Semaoen, bergabung.
Sebelumnya, Semaoen bergabung di SI Surabaya pada tahun 1914. Ketika itu umurnya 14 tahun. Ia mulai menjabat sebagai sekretaris. Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 mengatakan, Semaoen berkenalan dengan Sneevliet pada awal 1915. Ia terkesan dengan sikap Sneevliet yang manusiawi dan bebas dari mentalitas kolonial. Dari perkenalan itu Semaoen banyak belajar dengan Sneevliet. ”Ia bukan hanya belajar membaca tetapi juga menulis dan berbicara bahasa Belanda, dan segera menjadi sekretaris ISDV di Surabaya yang didominasi oleh orang belanda, sekaligus sebagai angota pimpinan VSTP (Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel – serikat buruh kereta api) Surabaya.” Tulis Takashi.
“Dari Sneevliet-lah mereka belajar menggunakan analisis Marxistis untuk memahami realitas sosial yang dialami. Mereka berpendapat bahwa bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat adalah akibat dari struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat yang diperas oleh kaum kapitalis.” Kata Soe Hok Gie dalam bukunya Di Bawah Lentera Merah.
Selama memimpin SI Semarang, Semaoen yang usianya masih terbilang remaja, berhasil mengorganisir serikat buruh untuk melakukan aksi-aksi mogok akibat kebijakan para pemodal-kapitalis yang semakin mencekik. Pemikiran dan aksi-aksi radikalnya direspon secara antusias dari kalangan buruh pribumi. Ditambah berita keberhasilan Revolusi Rusia yang berhasil menggulingkan Kekaisaran Tsar menambah sikap radikal kelompok Semaoen semakin menjadi untuk melawan pemerintah. Sosialisme; ajaran yang menolak kepemilikan hak individu agar menjadi hak milik bersama, menjadi digemari dikalangan sebagian besar kaum buruh. Anggota SI Semarang dari kalangan buruh jumlahnya semakin bertambah. Namun dari catatan Takashi, Tjokro masih menganggap apa yang dilakukan Semaoen sebagai darah mudanya saja, bukan dari keyakinan ideologi yang berasal dari Sneevliet.
Perpecahan di dalam tubuh SI pun terjadi. Semakin lama, nampak kelompok Semaoen berusaha melemahkan kedudukan pimpinan SI. Meski kelompok Semaoen menyatakan ketidakpercayaan kepemimpinan Tjokro, tetap saja kedudukan Tjokro tetap tak tergoyahkan. Dalam hal pertentangan ini, Deliar Noer berpendapat bahwa Tjokroaminoto lebih mementingkan persoalan persatuan serta persoalan kedudukannya sebagai pemimpin. “Ia kelihatannya kurang memperhatikan persoalan-persoalan prinsip, seperti sesuai tidaknya komunisme dengan Islam,” tulisnya.
Berbeda dengan Abdul Moeis dan Agus Salim yang menganggap perbedaan ini adalah soal prinsip. Mereka mengatakan bahwa Sneevliet seakan-akan sengaja dikirim ke Hindia untuk memecah gerakan rakyat. Para pemimpin SI ini menuntut pemerintah mengeluarkan Sneevliet dari Hindia. “Adalah suatu kaum yang harus kita jauhkan dari pada pergerakan kita, suatu kaum yang hendak menerbitkan perceraian antara bangsa kita, yaitu kaum yang hendak membagi bangsa kita atas ‘kaum pekerja’ dengan ‘kaum pemodal’. Kaum itu ialah kaumnya membatalkan hak milik, yang memakai nama socialist yang dibangunkan dan dikembangkan dalam negeri ini oleh tuan Sneevliet, Baars, dan lain-lain.” Tulis Agus Salim di surat kabar Neratja pada 1 Oktober 1917 yang dikutip dari Deliar Noer. Mereka juga mengusulkan agar dilakukannya disiplin partai untuk mengeluarkan kelompok ini dari SI.
Pertarungan itu memuncak di kongres luar biasa SI ke 6 tahun 1921. Selain membahas disiplin partai, kongres tersebut juga membahas penyusunan kembali asas SI. Ketidakhadiran Tjokro dalam kongres ini dikarenakan sedang menjadi saksi atas kasus SI-Afdeling B di Garut, membuat kelompok Agus Salim dan Abdul Moeis menguasai kongres.
Dalam perdebatan di kongres ini, Agus Salim berpedapat bahwa orang yang masuk SI tidak boleh menjadi perkumpulan atau partai politik lain. Sebelumnya, pada tahun 1920, ISDV merubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Hindia (yang nanti kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia). Semaoen, yang juga masih menjadi Ketua SI Semarang, diangkat menjadi ketuanya. Kemudian Agus Salim mengemukakan bahwa tindakan disiplin harus segera diambil terhadap kelompok Semaoen, karena sangat perlu untuk menegakan dasar organisasi SI itu sendiri. “Tidak perlu mencari isme-isme yang lain yang akan mengobati penyakit pergerakan. Obatnya ada di dalam asasnya sendiri. Asas itu ialah Islam.” Kata Salim yang dimuat di surat kabar Neratja 18 oktober 1921. Bagi kelompok Agus Salim, apa yang diperjuangkan dari ideologi sosialis dan komunis juga ada di dalam Islam.
Kelompok Semaoen menolak keras disiplin ini. Menurutnya, atas usaha orang-orang komunis-lah sifat-sifat kapitalis yang ada di dalam SI dihilangkan sehingga menjadi partai rakyat. Ajaran sosialis-marxis dengan gerakan komunisnya bisa mereka pakai sebagai alat perjuangan pergerakan. Semaoen berharap pada kongres agar tidak mengambil disiplin partai. Namun pembelan Semaoen dapat dipatahkan oleh Agus Salim dan Abdu Moeis. Begitu juga perbandingan dari perbandingan suara, kelompok Semaoen yang hanya 7 orang kalah dari kelompok Agus Salim dan Abdul Muis yang ada 30 orang. Kelompok Semaoen berhasil didepak keluar dari SI.
BACA JUGA: Segenggam Maaf Hamka untuk Yamin
Perpecahan ini cukup menggoyahkan SI. Meski kecewa, Tjokro ikut menerima keputusan itu. Bahkan akhirnya ikut menentang ajaran-ajaran komunis yang telah menjadi ideologi para muridnya. Seperti yang ditulis Takashi, penolakan ajaran komunis pada diri Tjokro dengan tegas ia sampaikan ketika berpidato dalam Kongres al-Islam tahun 1922 di Cirebon. Tjokro mengatakan SI itu berdasarkan agama Islam, komunis tidak percaya pada Tuhan dan tidak mengakui agama, maka tidak sesuai dengan SI.
Mulailah pada kongres-kongres SI di tahun-tahun berikutnya, asas organisasi mulai diperkuat. Para pimpinan SI berusaha merancang bagaimana SI tetap menjadi roda pergerakan yang melawan praktek kapitalisme, menghapus feodalisme, meningkatkan derajat rakyat kecil, dan penyuara kepentingan para buruh. Meski keputusan kongres SI berpegang pada asas Islam, ajaran sosialisme dalam tubuh pergerakan masih diperlukan.
Mengutip Nasihin dalam Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, Sosialisme merupakan bagian dari indentitas barat. Sosialisme pada dasarnya sebagai sebuah ideologi penyeimbang dari penyebaran ideologi kapitalis yang telah berkembang pesat di dunia melalui praktek-praktek kolonialisasi yang dilakukan oleh negara-negara industri.
Menurut Tjokro, Sosialisme tidak dianggap sebagai sebuah hal yang harus ditentang, selama sosialisme yang dimaksud adalah berlandaskan Agama Islam. Maka, ketika pimpinan SI mengadakan Kongres Al-Islam di Cirebon tahun 1922 yang bertujuan menghimpun persatuan umat, Tjokro menyerukan untuk mengusung cita-cita dasar pergerakan bumiputera yang berlandaskan Islam dan Sosialisme. Islam dan Sosialisme yang dirumuskan Tjokroaminoto bersama Agus Salim inilah upaya menerapkan ajaran-ajaran Islam dari Al-Qur’an dan Hadist sebagai pedoman pergerakan melawan kolonialisme dan kapitalisme yang kala itu ajaran sosialisme sedang digandrungi oleh para aktivis pergerakan.
Tepatnya tahun 1924, buku karya Tjokro yang berjudul Islam dan Sosialisme diterbitkan. Tjokro menjelaskan, dasar utama sosialisme adalah dari Surat Al Baqarah ayat 213,“Kaanan nassu ummattaw wahidah” yang diartikan oleh Tjokro: Peri-kemanusiaan itu adalah satu kesatuan. Tjokro juga menjelaskan nilai-nilai sosialisme yang terkandung dari ajaran Islam tentang persamaan dan persaudaraan. Hadist berhentilah makan sebelum kenyang, juga menjadi alat berpijak Tjokro untuk mengkritik kapitalisme.
Bagi Tjokro, sosialisme sudah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para khalifah. Tidak seperti sosialisme dari barat yang masih sebatas teori. Meski sebagian besar pembahasan bukunya adalah memberikan persamaan nilai-nilai ajaran Islam dengan sosialisme, di awal penjelasan buku ini, Tjokro sudah memberi batas bahwa sosialisme barat bepijak pada ajaran historis materialisme. Tjokro mengkritik materialisme, yaitu teori yang menilai dunia hanya bersifat kebendaan aja, sehingga menolak sesuatu yang tak terlihat, seperti Tuhan. Tidak dengan Sosialisme Islam yang berpijak pada ajaran Tuhan dan Nabi-Nya.
Pembahasan dari buku Islam dan Sosialisme karya Tjokro ini yang menjadi bahan materi pembelajaran kursus yang pernah diikuti Hamka ketika berada di Yogyakarta tahun 1924. Hamka juga bercerita, Tjokro tak fasih berbahasa arab. Ketika Tjokro menjelaskan Sosialisme dari segi Islam dengan mengutip Al-Qur’an, ia hanya menulis nomor-nomor ayat. Lalu mengutip hadist hanya dengan menuliskan arti dan perawinya.
“Ayah dan guru-guru saya di Sumatera telah memberi dasar hidup saya sebagai orang Islam, tetapi Tjokroaminoto telah membuka mata saya untuk Islam yang hidup!” kenang Hamka. []
HABIS