MESKIPUN dipisahkan oleh jarak geografis yang terbilang jauh, pengaruh dan kehadiran Kesultanan Turki Ottoman juga mencapai wilayah kepulauan Nusantara. Banyak catatan sejarah menyebutkan hubungan diplomatik, ekonomi dan militer yang terjadi di antara Ottoman dengan berbagai kesultanan Islam di Nusantara. Salah satu kesultanan yang paling aktif menjalin hubungan dengan Turki Ottoman adalah Kesultanan Aceh.
Berdasarkan kronik Aceh abad ke-enam belas “Bustanus Salatin” yang ditulis oleh ulama kesultanan Aceh asal Gujarat, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri pada tahun 1638, disebutkan bahwa awal hubungan Kesultanan Aceh dengan Turki Ottoman dibangun pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar (memerintah 1537-1571).
Sultan Alauddin al-Kahar membangun sistem pemerintahan Aceh Darussalam dan mengirim misi diplomatik kepada Sultan Ottoman, Sulaiman Agung (Kanuni Sultan Süleyman), di Istanbul untuk memperkuat agama Islam. Sultan Ottoman kemudian mengirim berbagai pengrajin dan ahli persenjataan meriam ke Aceh. Sultan Alauddin juga yang pertama kali membangun benteng pertahanan dan menyerukan perlawanan terhadap Portugis di Malaka.
BACA JUGA: Digitalisasi Database Kependudukan Turki: Searching Silsilah Keluarga Sampai Zaman Ottoman
Catatan sejarah lainnya dari penjelajah Portugis Mendes Pinto (hidup antara 1509-1583), menyatakan antara tahun 1537-1538 terdapat kehadiran armada militer Turki Ottoman dari Laut Merah yang dikirimkan Sultan Sulaiman Agung untuk membantu Sultan Alauddin membangun kekuatan militer. Dilaporkan armada tersebut terdiri dari 160 tentara Turki, Abbissinia dan Gujarat, serta 200 tentara sewaan dari Malabar telah bergabung dengan tentara Kesultanan Aceh.
Pasukan tersebut kemudian dikerahkan untuk menaklukkan wilayah pedalaman Sumatera pada tahun 1539. Di samping itu catatan Mendes Pinto juga menunjukkan kembalinya armada Aceh di bawah pimpinan seorang komandan Turki, Hamid Khan, yang merupakan keponakan Pasha Ottoman di Kairo. (Azyumardi Azra 1994, Jajat Burhanudin 2016).
Kisah Meriam Lada Secupak Jajat Burhanudin dalam Pasang Surut Hubungan Aceh dan Turki Usmani menjelaskan Sultan Alauddin telah mengirimkan utusan ke Istanbul pada tahun 1560-an dengan misi membawa pulang senjata api, meriam dan amunisinya dalam rangka menghadapi Portugis di Malaka.
Sultan Alauddin juga turut memohon bantuan Ottoman untuk memberikan perlindungan terhadap saudagar dan jemaah haji yang melintasi kawasan Samudera Hindia. Utusan Aceh sampai ke Istanbul setelah mengalami perjalanan yang berbahaya di Laut Merah dikarenakan kapal mereka dihadang oleh armada Portugis.
Meskipun gagal mempersembahkan hadiah emas, permata dan rempah-rempah, utusan Aceh berhasil mendapatkan bantuan militer Ottoman. Kesultanan Aceh menerima kedatangan utusan Turki Ottoman yang merupakan ahli persenjataan sehingga atas bantuannya banyak meriam besar dibuat di Aceh, salah satu meriam yang paling terkenal diberi nama “Lada Secupak”. Karena itu pada masa jayanya Kesultanan Aceh dikabarkan telah memiliki seribu dua ratus meriam, delapan ratus di antaranya berukuran besar.
Istilah “Lada Secupak” itu sendiri menyimpan kisah unik, seperti dijelaskan oleh Anthony Reid dalam Sixteen Century Turkish Influence in Western Indonesia bahwa utusan Aceh mengalami kesulitan di perjalanan sehingga mereka baru mencapai Istanbul setelah tiga tahun. Pada saat itu mereka telah memakan semua persediaan beras dan menjual sebagian besar lada untuk menghidupi diri mereka sendiri. Hanya secupak lada (sekitar 675 gram) yang tersisa, para utusan merasa malu tetapi Sultan Sulaiman Agung terharu dengan kisah mereka dan akhirnya mengabulkan permintaan Kesultanan Aceh.
Syarif Mekkah dan Pemberian Gelar “Sultan” Turki Ottoman juga tercatat melakukan hubungan diplomatik dengan kesultanan lainnya di Nusantara. Hal itu ditandai dengan adanya sebuah pernyataan menarik, pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia ke-VI di Yogyakarta, 12 Februari 2015. Momen itu adalah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X mengakui adanya hubungan erat antara Kesultanan Yogyakarta dengan Kekhalifahan Turki Ottoman. Pada tahun 1479, Sultan Ottoman mengukuhkan Raden Patah (Sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam Turki Ottoman untuk tanah Jawa.
Pengukuhan tersebut ditandai dengan penyerahan bendera bertuliskan Laa ilaaha illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikat dua bendera tersebut tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai perwakilan Kekhalifahan Turki Ottoman.
Pernyataan Sultan Hamengku Buwono tersebut diperkuat oleh catatan sejarah yang menyebutkan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram mengirimkan utusannya untuk menemui Syarif Mekkah, wakil dari penguasa Ottoman yang berada di Mekkah. Seperti yang disebutkan oleh Martin van Bruinessen dalam Muslims of the Dutch East Indies and the Caliphate Question, tujuan utusan tersebut adalah untuk meminta legitimasi kekuasaan kepada penguasa Turki Ottoman, persetujuan untuk dapat menggunakan gelar “sultan” dan mendapatkan “stempel emas Bayt al-Haram, Mekkah”. (Djajadiningrat 1913, Bruinessen 1995).
Catatan sejarah lainnya yaitu kronik “Sajarah Banten” seperti yang dijelaskan Michael Laffan dalam The Makings of Indonesian menyebutkan penguasa Banten, Sultan Abdul Qadir pada tahun 1638 mengirimkan utusan ke Mekkah untuk meminta penggunaan gelar sultan dari Syarif Mekkah. Setelah berhenti di Maladewa, pantai Koromandel, Surat dan Mocha, para utusan Banten melakukan perjalanan ke Jeddah untuk bertemu dengan Syarif Zayd, pemimpin Haramayn saat itu (memerintah 1631-1666).
Syarif Zayd kemudian memberikan mereka stempel emas, bendera, bagian kain penutup Ka’bah dan batu dengan jejak kaki Nabi Muhammad SAW. Sajarah Banten juga menyiratkan bahwa Syarif Zayd telah memberikan Kesultanan Banten hak untuk membagikan gelar kepada para penguasa Mataram dan Makassar. Akan tetapi, para penguasa ini lebih suka mengirim delegasi mereka sendiri ke Mekkah dan bertemu langsung dengan Syarif Mekkah.
BACA JUGA: Inilah Penyebab Runtuhnya Kesultanan Ottoman Turki
Eratnya Hubungan Ottoman-Nusantara Azyumardi Azra dalam disertasinya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan bahwa selain Kesultanan Mataram dan Banten yang mengirimkan utusan ke Mekkah, para raja lain di Nusantara, termasuk Kesultanan Johor, juga melakukan hal yang sama.
Sultan Palembang pada tahun 1640-1641 juga tercatat mengirimkan beberapa surat ke Mekkah yang dikirimkan melalui kapal-kapal Aceh. Azra kemudian menjelaskan bahwa korespondensi juga dilakukan oleh Kesultanan Makassar yang intens berkirim surat dengan Syarif Mekkah. Salah satu surat di antaranya ditulis untuk meminta pengiriman ulama dari Mekkah.
Pengaruh dan kehadiran Turki Ottoman dalam kehidupan kesultanan di Nusantara dapat dikatakan sebagai faktor yang cukup determinan. Ottoman berperan penting dalam memberikan bantuan militer (Aceh), legitimasi politik (Mataram, Banten, Makassar) dan bahkan pengiriman ulama (Palembang, Makassar). Ottoman juga tercatat memberikan perlindungan terhadap jemaah haji yang berasal dari Nusantara untuk melintasi Samudera Hindia secara aman.
Dengan demikian, Turki Ottoman berperan sebagai negara protektorat kepada kesultanan di Nusantara. Pada saat bersamaan, kesultanan Nusantara mengakui kekuasaan dan legitimasi politik Turki Ottoman. Argumen ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Ottoman pada abad keenam belas dan ketujuh belas di kepulauan Nusantara. []