PADA zaman dahulu kala, ada sebuah desa terapung. Rumah mereka berdiri di atas air. Mereka hidup damai, meski dengan lingkungan yang terbatas.
Dalam budaya mereka, ada sebuah kebiasaan unik untuk mencari jodoh. Yakni, bila telah menginjak dewasa, para pemuda dan gadis akan saling memanggil dari rumah ke rumah, yang berdiri di atas air tersebut. Jika mereka saling cocok, panggilan tersebut akan berbalas dan akhirnya antar kedua rumah akan dibangun sebuah jembatan cinta. Saat membangun jembatan itulah, keluarga si pemuda biasanya akan memberikan dukungan untuk membantu menyelesaikan jembatan.
Tradisi tersebut telah berjalan sekian lama, sehingga mereka berkembang menjadi satu buah desa besar. Masing-masing keluarga terdiri dari para tetangga yang saling mengenal satu sama lain.
Suatu kali, ada seorang pemuda yang mendengar sebuah bisikan lirih di kejauhan. Namun entah mengapa, ia meyakini, itu adalah panggilan dari takdir pasangan hidupnya. Ia pun mengutarakan kepada keluarganya, untuk membangun jembatan penghubung kepada suara gadis yang didengarnya tersebut. Namun, karena dianggap terlalu jauh dan melawan tradisi, keinginan si pemuda untuk membangun jembatan tak didukung keluarganya. Tetapi, si pemuda berkeras. Ia merasa, itu adalah panggilan jodoh yang sudah ditunggu dalam hidupnya.
Karena tak mendapat dukungan keluarga, si pemuda membangun sendiri jembatan itu. Ia tak peduli omongan orang lain. Yang ia tahu, ia harus membangun dan merancang jembatan untuk keluar dari lingkup komunitas desa tersebut. Untuk itu, ia membangun jembatan dengan sangat kuat. Meski pengerjaannya sangat berat dan melelahkan, si pemuda tetap bersemangat.
Segala macam keraguan selalu menghampiri si pemuda. Dari dianggap melawan tradisi, melakukan hal yang tak jelas, hingga melakukan sebuah kesia-siaan. Namun, si pemuda tetap pada tekadnya. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, tak terasa delapan tahun ia membangun jembatan tersebut. Hingga, sebuah jembatan kokoh akhirnya benar-benar menghubungan dirinya dengan si gadis yang ternyata kemudian benar-benar menjadi pasangan hidupnya.
Suatu kali, sebuah bencana besar terjadi. Angin ribut dan hujan lebat memorakporandakan desa tersebut. Sebagian besar bangunan dan jembatan kayu, tak mampu menahan bencana tersebut. Namun, berkat ada jembatan kokoh yang dibuat si pemuda sebelumnya, akhirnya semua penduduk desa berhasil terselamatkan ke desa si gadis. Akhirnya, mereka pun berterima kasih kepada si pemuda yang berhasil meyakini dan memperjuangkan apa yang menjadi panggilannya.
Hikmah
Orang yang mengambil inisiatif untuk melakukan suatu hal, biasanya akan menjadi orang yang paling banyak mendapat hasil. Hal ini sesuai dengan prinsip be the first, yakni siapa yang pertama, ia yang paling banyak mendapat kesempatan. Namun tentu, sebagai orang pertama, ia juga yang biasanya paling banyak mendapat tentangan, keraguan, bahkan cacian. Dobrakan dalam melangkah sering kali dianggap melawan kebiasaan atau mainstream.
Dari kisah tersebut, kita melihat bagaimana si pemuda menjadi “orang pertama” yang berani melawan kebiasaan. Dan, ia pun berjuang sebagai “orang pertama” untuk mewujudkan apa yang diyakini, di tengah banyaknya kesulitan yang menghadang. Namun, kita harus yakin, bahwa dalam setiap inovasi—sepanjang kita meyakini hal tersebut mendatangkan manfaat—harus ada kekuatan tekad untuk berjuang melawan batasan yang ada. Karena itu, jika punya ide, punya niatan baik, punya konsep, punya hal baik yang bisa dilakukan, segera wujudkan! Jangan takut pada omongan-omongan yang bernada meragukan, sebab sejatinya, kunci kekuatan sejati telah ada dalam diri kita.
Sumber: www.andriewongso.com
*Judul telah mengalami perubahan, namun tidak mengubah esensi dari isi artikelnya.