Oleh: Achmad Satori Ismail
KALAU kita mengamati sepintas perkembangan bangsa-bangsa di dunia sekarang ini, kita akan merasa prihatin. Negara-negara yang mayoritas penduduknya umat Islam berada di urutan paling belakang. Negara yang dianggap paling maju diduduki oleh negara yang mayoritas beragama nasrani, disusul oleh negara penganut sintoisme, dan penganut Budha, kemudian diikuti oleh negara penyembah ‘sapi’. Sedangkan negara-negara yang mayoritas muslim selalu menjadi puritan.
Mayoritas Ulama-ulama muslim sering berdalih bahwa keterbelakangan umat Islam ini disebabkan oleh penjajahan negara-negara Barat yang menimpa umat Islam, mulai dari Maroko di sebelah barat sampai ke Merauke di sebelah timur.
Sebagian lain berpendapat bahwa kemunduran umat Islam terjadi akibat konsep tawakkal yang keliru dan gerakan sufisme yang berpangkal pada zuhud, dalam artian meninggalkan dunia demi akhirat.
BACA JUGA:Â Teknologi Tepat Guna di Era Keemasan Peradaban Islam
Ada sekelompok cendekiawan muslim yang melihat kemunduran umat Islam ini disebabkan jauhnya kaum muslimin dari ajaran murni Islam. Barangkali di sana masih banyak pandangan lain yang amat dipengaruhi oleh keahlian dan spesialisasi masing-masing.
Suatu perbandingan
Sejak 150 tahun yang lalu Jepang masih merupakan masyarakat feodalis yang terbelakang. Sedangkan pada saat itu, sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim yaitu Mesir, telah memulai langkahnya ke arah kemajuan, pengembangan ilmu pengetahuan dan membangun dunia modern. Penguasa saat itu yaitu Muhammad Ali Basya memahami betul masalah pendidikan dan menyadari apa saja yang bisa mendorong bangsanya ke arah kemajuan dan keluar dari kebodohan dan keterbelakangan.
Muhammad Ali telah menyadari hal ini pada dekade tiga puluhan abad 19 yang lalu. Beliau mengutus putra-putra bangsanya yang pilihan ke beberapa negara Eropa yang telah maju khususnya Prancis, Jerman dan Inggris. Putra-putra terbaik Mesir yang tugas belajar ke luar negeri ini terbelalak matanya ketika melihat kemajuan dan gemerlapannya kebudayan Barat, sebagaimana orang-orang Eropa dahulu terperanjat melihat kemajuan peradaban Islam ketika mereka datang untuk menyerang kaum muslimin di Baitul maqdis.
Putra-putra Mesir ini setelah kembali dari Eropa membawa ilmu pengetahuan dan menerapkan sistem pendidikan yang ada di Eropa. Mesir mulai memasuki era baru; memperluas pendidikan, memperhatikan industri, membangun jembatan-jembatan guna kelancaran transportasi, memperbanyak sarana irigasi, melatih dan meningkatkan kualitas tentara dan bidang-bidang lain dari aspek kehidupan. Ini terjadi pada dekade tiga puluhan abad 19.
Di Timur Jauh, Jepang modern masih nyenyak tertidur. Baru setelah empat puluh tahun dari kebangkitan Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali, muncul seorang imperator Jepang yang memiliki otak cemerlang dan kemauan keras. Ia goncang bangsa Jepang yang sedang dibuai mimpi untuk melangkah ke arah kemajuan. Imperator itu bernama MEIJI (1878 – 1912). Dia mengirim pelajar-pelajar Jepang ke berbagai negara yang dianggapanya telah maju di bidang ilmu pengatahuan dan teknologi. Di antaranya adalah negara Mesir.
Hari terus bergulir sehingga bulan dan tahun pun terus berlalu…Tiba-tiba sekarang ini Mesir, Baghdad, Damaskus dan sekitarnya diklasifikasikan dalam negara-negara terbelakang, sedangkan Jepang yang pernah mengirimkan pelajarnya ke Mesir untuk mencari ilmu, menjadi negara maju. Kenapa bisa terjadi demikian?
Belajar dari Jepang
Kesuksesan Jepang dalam membangun kembali masyarakatnya yang hancur berantakan akibat perang dunia kedua, sering diidentikkan dengan sistem pendidikan Jepang yang istimewa.
Sebenarnya, perlu dicatat di sini bahwa sistem pendidikan yang berlaku di Jepang bukanlah suatu yang baru muncul setelah perang dunia kedua tetapi merupakan hasil perkembangan beberapa abad sebelumnya, khususnya pada masa atau periode TOKUGAWA yang membentang dari tahun 1603 – 1868.
Studi-studi Barat modern menyimpulkan bahwa periode ‘Tokugawa’ memiliki andil amat besar dalam menciptakan kemajuan dan pertumbuhan Jepang modern.
Ajaran-ajaran pemikiran Konfusius (Confucian System) yang berlaku di Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa amat mementingkan masalah pendidikan bahkan memprioritaskannya dalam agenda pembangunan negara. Hal ini adalah wajar, karena lima ajaran Moral Konfusius mengutamakan pendidikan. Urutan lima ajaran tersebut yakni: belajar, mencintai kebaikan, berlaku adil, bergaul dengan baik dan berkepribadian yang integral.
Pada tahun 1615 Tokugawa Ieyasu mengeluarkan suatu peraturan yang menyatakan bahwa belajar “seni berdamai” sama dan sejajar dengan belajar “seni berperang”, keduanya harus dipelajari dan harus dikuasai dengan baik.
Atas dasar seruan ini, Pemerintah Jepang memberi subsidi besar kepada lembaga-lembaga pendidikan untuk mendidik pelajar menjadi ahli perang. Pada tahun 1630 di Tokyo didirikan Lembaga Konfusius (Confucian College) yang diberi nama ‘Shoheiko’.
Orang-orang awam pun mendapatkan perhatian penguasa Tokugawa, mereka diharuskan belajar di tempat-tempat yang biasa disebut dengan ‘Terakoya’ (Temple schools).
Ronald Dore, peneliti bidang pendidikan masa Tokugawa, menyebutkan bahwa pada masa Meiji, orang-orang Jepang sudah amat sedikit yang tidak mengenal tulis baca. Dan bila dibandingkan dengan negara-negara maju saat itu Jepang masih lebih unggul.
Dore mengatakan, ada satu hal penting yang perlu dicatat di sini, bahwa orang-orang Jepang “Sudah belajar bagaimana cara belajar”, mereka siap dan menyiapkan diri secara psikologis untuk maju ke depan dengan cepat kapan dan di mana pun ada kesempatan.
Jepang menggunakan 12% dari APBNnya untuk kepentingan pendidikan sedangkan untuk persenjataan hanya 7,7% saja. Berbeda dengan Amerika yang membelanjakan anggaran untuk persenjataan tujuh kali lipat dari anggaran pendidikan. Pada tahun 1976, 92% dari murid SD 9 tahun di Jepang meneruskan studinya sampai tingkat perguruan tinggi.
Jepang sekarang memiliki 1000 Perguruan Tinggi yang diikuti oleh dua juta mahasiswa. Artinya, 40% dari pemuda Jepang mengikuti pendidikan tinggi di sana.
BACA JUGA:Â Sejarah Peradaban Manusia, Ini Siklusnya
Lain daripada itu, orang-orang Jepang adalah orang yang amat gemar membaca. Dalam bis kota dan kereta bisa kita lihat sejumlah besar orang Jepang yang asik membaca. Mereka bukan saja membaca surat kabar akan tetapi majalah dan buku-buku juga ‘dilahapnya.’
Jepang maju Mesir Terbelakang
Hari terus bergulir, bulan berubah menjadi tahun dan tahun pun menghimpun diri menjadi abad. Sekarang kita saksikan Jepang sejajar dengan negara-negara maju sedangkan Mesir dikategorikan ke dalam negara dunia yang sedang berkembang. Mengapa demikian? Apakah karena penduduk Mesir mayoritas beragama Islam sehingga mundur seperti negara-negara lain yang mayoritas berpenduduk muslim?
Rasanya tidak adil bila kita langsung memvonis bahwa Islam dituduh sebagai penyebab kemunduran Umat sebelum kita meneliti apakah benar ajaran-ajaran Islam itu menentang perkembangan ilmu dan mengekang kreatifitas rasio seperti yang sering dituduhkan kaum orientalis terhadap Islam dan umatnya.
Berabad-abad umat Islam memegang supremasi dunia khususnya dari sejak abad pertama Hijrah sampai mundurnya umat Islam dari benua Eropa kembali ke Afrika , yang disusul kemudian oleh ekspansi Barat ke negara-negara Islam.
Mereka mencapai puncak kejayaannya tatkala mereka berpegang teguh pada Islam, melaksanakan ajaran-ajarannya dan menebarkannya ke penjuru dunia. Dan ketika umat Islam renggang dari Islam, tidak memahami ajaran-ajarannya, tidak mau menuruti tuntunannya dan lebih menyenangi harta duniawi yang fana, umat Islam mulai diserang kelemahan dan kemunduran. Benarlah sabda Rasulullah yang menyatakan: AL ISLAMU YA’LU WALAA YU’LAA ‘ALAIH (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya).
Jadi yang tinggi itu adalah Islam. Sedangkan umatnya tergantung mereka sendiri. Bila mereka berpegang teguh pada Islam, akan ikut terbawa tinggi, tapi sebaliknya bila mereka melepaskan Islam atau tidak berpegang teguh pada Islam, mereka akan melorot tidak terbawa naik. []
SUMBER: IKADI