ADA kemungkinan, Hari raya Idul Fithri tahun ini akan jatuh pada hari Jum’at. Apabila benar, apakah seorang yang sudah ikut shalat hari raya masih wajib shalat Jum’at, ataukah sudah gugur? Telah terjadi silang pendapat di kalangan ulama’.
Menurut madzhab Asy-Syafi’iyyah seorang yang sudah ikut shalat hari raya dari kalangan orang-orang kota, tidak gugur shalat Jum’at atasnya. Dia tetap wajib untuk menunaikan shalat Jum’at. Adapun orang-orang desa atau pelosok yang jauh sekali dari tempat dilaksanakannya shalat Jum’at, maka diberi keringanan untuk tidak hadir.
Alasan madzhab Asy-Syafi’i, (1) Karena shalat Jum’at hukumnya wajib, sedangkan shalat hari raya sunnah (menurut jumhur). Perkara yang sunnah tidak bisa menggugurkan yang wajib. (2) Kemudian, dalil-dalil yang sekilas menggugurkan shalat Jum’at bagi yang sudah ikut shalat hari raya sifatnya masih muhtamal (banyak mengandung kemungkinan makna), sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at sifatnya qathiyyud dilalah ( menunjukkan secara pasti tanpa ada kemungkinan lain). Maka dalil yang masih mengandung banyak kemungkinan, tidak bisa untuk menggugurkan dalil yang bersifat pasti dan gamblang.
BACA JUGA: Mulai Berpuasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah
Adapun dalil-dalil yang sekilas memberikan rukhsah (keringanan) untuk tidak hadir dalam shalat Jum’at bagi yang sudah hadir shalat hari raya, dibawa kepada kemungkinan makna bagi orang-orang pelosok atau desa yang sangat jauh dari tempat ditunaikannya shalat Jum’at. Karena hal itu akan sangat memberatkan mereka.
Seperti hadits dari Ayyas bin Romlah Asy-Syami beliau berkata :
شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: «مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَلْيُصَلِّ»
“Aku pernah menyaksikan Mu’awiyyah bertanya kepada Zaid bin Arqom : Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-dua hari raya-Idul Fitri atau Idul Adhha dengan sholat Jum’at- berkumpul dalam satu hari ? beliau ( Zaid bin Arqom ) menjawab : ya. Beliau ( Mu’awiyyah ) bertanya : Bagaimana yang dilakukan Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- ? Zaid bin Arqom menjawab : Beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam-menunaikan sholat Id kemudian memberikan keringanan ( untuk tidak hadir ) dalam sholat Jum’at. Beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : Barang siapa yang berkehendak untuk sholat Juma’at, maka silahkan dia untuk sholat.” [ HR. Abu Dawud : 981 dan dishohihkan oleh asy-syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].
Rukhsah (keringanan) di dalam hadits di atas masih muhtamal (ada beberapa kemungkinan makna), bisa bersifat umum untuk semua orang dan bisa bersifat khusus untuk jenis orang tertentu. Akan tetapi telah ada riwayat yang menjelaskan, bahwa keringanan tersebut dalam hadits, khusus bagi mereka yang termasuk orang-orang pelosok atau orang-orang desa yang sangat jauh dari tempat ditunaikannya shalat Jum’at. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- :
أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ عُقْبَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: «اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَلْيَجْلِسْ فِي غَيْرِ حَرَجٍ»
Ar-Rabi’ telah mengabarkan kepada kami, (dia berkata) Asy-Syafi’i telah mengabarkan kepada kami, (dia berkata) Ibrahim bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami (dia berkata) Ibrahim bin Uqbah telah mengabarkan kepada kami, dari Umar bin Abdul Aziz berkata : “Dua hari raya telah berkumpul di zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka beliau berkata : Barang siapa dari penduduk yang tinggal di tempat yang tinggi (orang pelosok atau desa) ingin duduk (tidak hadir dalam shalat Jum’at), silahkan tanpa ada kesempitan.” [ Al-Umm : 1/274 ].
Dalam riwayat lain masih dalam kitab “Al-Umm” (1/274) :
أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ فَقَالَ ” إنَّهُ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ “.
Ar-Rabi’ telah mengabarkan kepada kami, (dia berkata) Asy-Syafi’i telah mengabarkan kepada kami, (dia berkata), Malik telah mengabarkan kepada kami,(dia berkata), dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaid maula Ibnu Azhar dia berkata : “Aku menyaksikan hari raya bersama Utsman, maka beliau datang kemudian shalat. Setelah selesai beliau berkhuthbah : “Sesungguhnya hari ini telah berkumpul dua hari raya (idul fitri dan jum’atan) bagi kalian. Barang siapa dari penduduk yang tinggal di tempat yang tinggi (orang pelosok) ingin untuk sekalian menunggu shalat Jum’at (tidak pulang dulu), maka silahkan tunggu. Dan barang siapa yang ingin untuk pulang, hendaknya dia pulang dan sungguh aku telah mengijinkan baginya (untuk tidak hadir shalat Jum’at).”
*Al-‘Awali : suatu desa di luar kota Madinah yang jauhnya sekitar empat mil, ada yang mengatakan tiga mil. Paling jauhnya delapan mil. (catatan : 1 mil = 1,609344 Km).
Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- dalam “Syarhu Musykilil Atsar” (3/187) berkata :
إن المرادِين بالرخصة في ترك الجمعة: هم أهل العوالي الذين منازلهم خارجة عن المدينة ممن ليست الجمعة عليهم واجبة، لأنهم في غير مصر من الأمصار، والجمعة فإنما تجب على أهل الأمصار
“Sesungguhnya orang-orang yang diinginkan mendapat rukhsah (keringanan) dalam meninggalkan Jum’at, mereka adalah penduduk al-‘awali yaitu orang-orang yang rumah mereka di luar kota Madinah dari orang-orang yang tidak wajib menunaikan shalat jum’at. Karena sesungguhnya mereka bukan kota dari kota-kota yang ada. Dan jum’at, hanya wajib bagi penduduk kota saja.”
Karena di zaman nabi, shalat Jum’at dan shalat hari raya hanya dilakukan di satu tempat saja, yaitu di kota Madinah. Tidak seperti sekarang yang hampir tiap desa atau kampung didirikan shalat Jum’at dan shalat hari raya.
BACA JUGA: Pada Hari Jumat….
Kemudian Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- menjelaskan :
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ صَلَّى الْإِمَامُ الْعِيدَ حِينَ تَحِلُّ الصَّلَاةُ ثُمَّ أَذِنَ لِمَنْ حَضَرَهُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْمِصْرِ فِي أَنْ يَنْصَرِفُوا إنْ شَاءُوا إلَى أَهْلِيهِمْ، وَلَا يَعُودُونَ إلَى الْجُمُعَةِ وَالِاخْتِيَارُ لَهُمْ أَنْ يُقِيمُوا حَتَّى يَجْمَعُوا أَوْ يَعُودُوا بَعْدَ انْصِرَافِهِمْ إنْ قَدَرُوا حَتَّى يَجْمَعُوا وَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا حَرَجَ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
“Apabila hari raya Idul Fithri jatuh pada hari Jum’at, maka imam (pemimpin) shalat hari raya saat shalat telah boleh ditunaikan. Kemudian mengijinkan bagi orang yang telah menghadirinya dari kalangan penduduk yang bukan dari kota (orang desa atau pelosok) untuk pulang kepada keluarganya jika mereka menginginkan, dan tidak kembali lagi untuk shalat Jum’at. Dan pilihan ini bagi mereka, (apakah) mereka tetap di tempat itu (tidak pulang) sampai mereka berkumpul (lagi untuk shalat Jum’at), atau mereka kembali lagi setelah pulang jika mereka mampu sampai mereka berkumpul untuk shalat Jum’at. Dan jika mereka tidak melakukannya (tidak hadir shalat Jum’at), maka tidak ada kesempitan baginya –insya Allah-.” [ Al-Umm : 1/274 ]
Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- melarang dengan tegas orang-orang kota untuk meninggalkan shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari raya. Beliau berkata :
وَلَا يَجُوزُ هَذَا لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يُدْعَوْا أَنْ يَجْمَعُوا إلَّا مِنْ عُذْرٍ يَجُوزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمُعَةِ، وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيدٍ
“Hal ini (keringanan meninggalkan shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari raya) tidak boleh bagi seorangpun dari kalangan penduduk kota ketika diseru untuk berkumpul kecuali karena ada alasan yang dibenarkan untuk meninggalkan shalat Jum’at.” [ Al-Umm : 1/274 ].
Maka dari keterangan Imam Asy-Syafi’i di atas menunjukkan, bahwa hadits Ayyas bin Ramlah lafadznya umum, akan tetapi makna yang diinginkan khusus( العام يراد به الخصوص ). Jadi yang diberi rukhsah (keringanan) boleh tidak ikut shalat Jum’at, adalah mereka yang tinggal di pelosok, jauh sekali dari tempat dilaksanakannya shalat jum’at.
Pendapat Imam Asy-Syafi’i ini, secara umum sesuai dengan pendapat Jumhur ulama’, dari madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, bahkan madzhab Dzahiri*. Adapun pendapat Hanabilah,bahwa seorang yang sudah ikut shalat hari raya, tidak wajib shalat jum’at secara mutlak. Baik orang kota atau orang pelosok.
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata dalam kitab “Majmu’ Syarhul Muhadzdzab” (4/492) :
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا وُجُوبُ الجمعة علي اهل البلد وسقوطها عن عن اهل القرى وبه قال عثمان ابن عَفَّانَ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ
“Telah kami sebutkan,sesungguhnya madzhab kami, wajib (ikut shalat) Jum’at bagi penduduk kota dan gugur dari penduduk desa. Dan ini merupakan pendapat Utsman bin Affan, Umar bin Abdul Aziz dan Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’).”
BACA JUGA: Hari Raya Idul Fitri, Ini Cara Menjalaninya
Jika kita perhatikan di zaman ini, rata-rata orang sudah jarang yang jauh dari masjid yang diselenggarakan shalat Jum’at. Oleh karena itu, illat (sebab) adanya rukhsah (keringanan) untuk tidak wajib shalat Jum’at jika sudah ikut shalat hari raya juga hilang. Berarti wajib shalat Jum’at meskipun sudah ikut shalat hari raya. Dalam suatu kaidah disebutkan bahwa :
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
“Hukum itu akan berputar bersama dengan ada tidaknya suatu illat (sebab).”
Kesimpulan :
Jika hari raya bertepatkan dengan hari Jum’at, maka seorang yang sudah mengikuti shalat hari raya masih wajib untuk ikut shalat Jum’at. Dikecualikan orang-orang yang tempat tinggalnya jauh sekali dari tempat diselenggarakannya shalat Jum’at sehingga akan menyebabkan timbulnya hal menyusahkan dan memberatkan (dimana orang seperti ini menurut madzhab Syafi’iyyah tidak wajib shalat jum’at secara asal). Dan illat (sebab hukum) ini jika ada, maka rukhashah juga berlaku. Jika illat hilang, maka rukhshah juga hilang.
Adapun Hanabilah, mereka menyakini bahwa seorang yang sudah ikut shalat hari raya tidak wajib shalat Jum’at secara mutlak. Baik orang kota ataupun orang desa. Akan tetapi diganti dengan shalat Dhuhur. Bagi yang ikut pendapat Hanabilah, juga tidak kita ingkari. Ini hanyalah masalah khilafiyyah yang kita harus saling menghormati di dalamnya. Tidak boleh untuk jadi sebab permusuhan apalagi saling menyesatkan.
Catatan :
Setahun yang lalu, kami pernah menulis artikel dalam tema ini. Di situ, kami memilih pendapat Hanabilah yang tidak mewajibkan ikut jum’at bagi yang sudah ikut shalat hari raya. Semoga tulisan ini menjadi tambahan wawasan bagi saya secara pribadi, dan umat Islam pada umumnnya. Dan saat ini, saya lebih cenderung kepada madzhab Jumhur ulama’ dari kalangan Malikiyyah, Hanafiyyah dan Syafi’iyyah. []
Facebook: Abdullah Al Jirani