SALAH satu tujuan terpenting dari Syariat adalah mencegah datangnya mafsadah atau dharar dan menghilangkannya saat sudah terjadi.
Namun jika tidak memungkinkan untuk menghilangkan atau menghindari semuanya secara keseluruhan, maka wajib meminimalkannya, dan itu dengan menghilangkan atau menghindari mafsadah dan dharar yang paling besar, meski konsekuensinya harus melakukan atau mendapatkan mafsadah dan dharar lain yang lebih ringan.
Kondisi ini dalam kaidah fiqih disebut “يُختار أهون الشرين” (dipilih keburukan yang lebih ringan). Saat berhadapan dengan dua atau lebih keburukan atau dharar atau mafsadah, dan kondisinya tidak memungkinkan bagi kita untuk menghindari semuanya, maka kita pilih dharar yang lebih ringan untuk menghindari dharar yang lebih berat/besar.
BACA JUGA: Pintu Ijtihad
Di antara dalil yang menunjukkan berlakunya kaidah ini adalah firman Allah ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ، قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ، وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ، وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
Terjemah: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan Haram. Katakanlah: Berperang pada bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada-Nya, (menghalangi masuk) Al-Masjid Al-Haram dan mengusir penduduknya dari tempat tinggalnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan fitnah lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)
Ayat ini menjelaskan bahwa mafsadah orang yang kufur kepada Allah, menghalangi manusia dari petunjuk Allah, dan mengeluarkan penduduk di sekitar Al-Masjid Al-Haram dari tempat tinggal mereka, serta menimbulkan fitnah di tengah-tengah mereka, lebih besar dosanya dibandingkan berperang di bulan Haram.
Sehingga memerangi mereka di bulan Haram untuk mencegah mafsadah yang lebih besar adalah suatu keniscayaan.
Yang juga menunjukkan berlakunya kaidah ini adalah yang terjadi pada Shulhu Hudaibiyyah (Perjanjian Damai Hudaibiyyah), yang isinya kelihatan tidak adil dan mempersulit umat Islam, dan bahkan hal ini sempat diprotes oleh sebagian Shahabat.
Namun sebenarnya ia upaya menghindari mafsadah yang lebih besar, yaitu terbunuhnya orang-orang beriman yang tinggal di Makkah. Dengan perjanjian ini keselamatan mereka terjamin.
Contoh Penerapan Kaidah:
1. Bolehnya mengambil upah (ujrah) dalam urusan agama yang sangat penting untuk kaum muslimin, seperti untuk mengumandankan adzan, menjadi imam shalat, mengajar Al-Qur’an dan fiqih, dan semisalnya, karena jika tak dibolehkan, dikhawatirkan tidak ada yang mengambil peran ini dan kewajiban agama terabaikan.
2. Bolehnya diam, tidak melakukan pengingkaran terhadap kemungkaran, jika upaya nahi munkar ini malah melahirkan dharar (bahaya) yang lebih besar.
BACA JUGA: Salah dalam Ijtihad Dapat Satu Pahala?
3. Bolehnya membelah perut mayat perempuan, yang di dalamnya terdapat anak yang potensi hidupnya besar. Membelah perut mayat adalah dharar, namun membiarkan anak (janin) yang potensi hidupnya besar di dalam perut ibunya tanpa dikeluarkan, dharar-nya lebih besar, karena menyebabkan kematian si anak.
4. Orang yang hampir mati karena kelaparan, dan ia tak menemukan apapun untuk dimakan kecuali mayat manusia, maka ia boleh memakannya, agar terhindar dari kematian.
5. Bolehnya menyumbangkan organ tubuh mayat, dengan izin sebelumnya, untuk menyelamatkan hidup seseorang. Mengambil organ tubuh mayat adalah dharar, namun ia lebih ringan dibandingkan mengabaikan keselamatan orang lain yang masih hidup.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2, Halaman 43-44, Penerbit Dar Al-Bayan, Damaskus.
Oleh: Muhammad Abduh Negara