DI SEBUAH pemukiman daerah pinggiran kota, ada seorang ibu lanjut usia yang menempati sebuah rumah sederhana pemberian dari anak-anaknya yang sukses dan beliau menempatinya dengan hanya ditemani oleh seorang pembantu.
Di tengah kesepiannya dari kehadiran anak-anaknya, yang dikenal kaya-raya dan sangat sibuk dengan urusan pekerjaan dan keluarga masing-masing, rupanya sang ibu itu pun wafat memenuhi panggilan Allah SWT.
Rupanya inilah kisah kesepian di ujung waktu hingga setelah kematian yang mungkin sering terjadi disaat kita jika lupa menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anak kita. Semoga kita dapat memetik hikmahnya.
Sebagaimana biasa terjadi saat ada peristiwa kemalangan, tetangga adalah pihak paling pertama diandalkan untuk mengurusi kebutuhan jenazah.
Mulai dari mengurusi hal-hal administrasi, perlengkapan mayit, kebutuhan takziah, menghubungi keluarga (jika tidak ada keluarga yang tinggal bersamanya) hingga mendatangi masjid untuk memberi kabar kepada warga setempat dan mempersiapan sholat jenazah.
Pantaslah jika Rasulullah SAW pernah mengajarkan kepada kita :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya” (Muttafaq ‘alaih).
Rupanya sang ibu tadi tidak hanya kesepian di hari tuanya, bahkan beliau ternyata benar-benar harus sendiri saat meregang nyawa ketika dijemput oleh malaikat maut tanpa ada seseorang pun yang menemani apalagi mentalqinkan (menuntun seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illa Allah).
Terakhir yang dapat diketahui adalah sang ibu mengeluh sakit kepada pembantunya dan mengatakan ingin tidur sekitar pada waktu maghrib dan pembantunya baru sadar bahwa majikannya telah meninggal dunia saat si pembantu ingin membangunkan untuk menawarkan sarapan.
Setelah para tetangga mendapat kabar, mereka pun segera menghubungi anak-anak kandung almarhumah dan inilah beberapa hal yang menggenapkan kisah kesepian tersebut, yaitu perkatan dan sikap dari anak-anak, menantu serta cucu ibu tersebut.
Anak pertama sang ibu, seorang pejabat tinggi, setelah mendapat kabar dia mengatakan kepada tetangga, tolong dibantu saja, segala biaya berapapun besarnya akan ditanggungnya, dan mungkin besok dia akan mampir sebentar untuk mengganti biaya tersebut, karena hari ini seluruh waktunya telah pada padat oleh agenda meeting walau masih berada di kota yang sama.
Ketiga anak-anak lainnya mengatakan bersedia datang setelah setelah jam kerja selesai, jadi kalau memang para tetangga bersedia, silahkan dimakamkan saja.
Para tetangga walaupun tahu akan keutamaan untuk menyegerakan pemakaman mayat tetapi tidak merasa berhak mengambil keputusan tersebut sehingga mereka memilih untuk menunggu kehadiran salah satu anak kandung sang ibu untuk mengambil keputusan.
Alhasil setelah azan isya berkumandang, barulah tiga dari empat anak-anak almarhum, beserta anak dan istri masing-masing hadir dengn gagah dan menawan, berpakaian dan berkacamata serba hitam, menunggangi mobil-mobil mewah yang mungkin semasa hidup memberikan kebanggaan serta menjadi simbol keberhasilan membesarkan anak menjadi orang-orang yang sukses.
Tak ada raut kesedihan yang bisa ditangkap, bahkan tetangga pun bingung mencari perwakilan keluarga kandung yang bisa diajak diskusi, karena mereka saling tunjuk.
Mereka pun hadir seperti layaknya tamu di sebuah acara resepsi pernikahan, mereka duduk manis dideretan bangku di bawah tenda untuk menunggu instruksi, mengisi waktu dengan saling bersenda-gurai atau sibuk berfoto dan tenggelam dengan smartphone-nya masing-masing.
Akhirnya para tetangga sepakat untuk menjalankan saja ritual yang menjadi hak mayit. Ketika tetangga mengajak mereka untuk bergabung menjalankan ritual memandikan, mengkafankan hingga sholat jenazah, mereka terlihat seolah menjaga jarak dengan berbagai alasan seperti tidak biasa melihat jenazah, tidak mengerti ritualnya dan sebagainya.
Setelah selesai, mobil jenazah pun bergerak meninggalkan rumah dengan dikawal motor besar milik militer serta diikuti barisan mobil-mobil mewah tadi tanpa ada satupun dari pihak keluarga yang biasanya saling berebut mengangkat keranda dan duduk didalam mobil jenazah untuk menemani almarhum terakhir kalinya saat masih berada diatas tanah.
Ini hanyalah sebuah kisah belaka yang jangan sampai terjadi kepada kita semua, yang seringkali menjadi orang tua yang membesarkan anak hanya untuk perkara dunia.
Rasa bangga kita akan pencapaian dunia, sementara mereka kosong terhadap agama, pada ujungnya sama sekali tidak membawa manfaat untuk akhir hidup kita dan akhir hidup mereka kelak.
Kita seringkali sudah puas ketika telah membekali anak-anak kita dengan pendidikan yang tinggi, makanan bergizi, kesehatan yang baik, fasilitas yang lengkap walaupun mereka tidak menjalan sholat lima waktu, tidak bisa membaca Alqur’an, tidak mengenal Allah SWT, tidak mengikuti Rasulullah SAW dan sebagainya.
Betapa bangganya orang tua yang memiliki anak yang fasih berbahasa Inggris walau tidak kenal huruf hijaiyah, kita senang anak kita banyak menghafal lagu-lagu walau tidak hafal surah-surah pendek Al Qur’an, kita bahagia anak kita banyak aktivitas kesenian atau olahraga walau tidak sholat, kita memuji kebiasaan anak menabung tetapi risih jika dia suka berbagi atau bersedekah.
Sehingga semua upaya membesarkan anak adalah untuk menjawab pertanyaan,”Apa yang akan kau makan jika aku wafat, Nak?”. Sementara inilah yang ditanyakan para Nabi untuk anak-anaknya,”Apa yang akan kau sembah jika aku wafat, Nak?”
Dalam surat Albaqaroh ayat 132-133, Allah SWT berfirman,” Dan telah memesankan (pula) Ibrahim dengan itu kepada anak-anaknya dan Ya’qub. Wahai anak-anakku, sesungguh¬nya Allah telah memilihkan untuk kamu suatu agama. Maka janganlah kamu mati, me¬lainkan hendaklah kamu di dalam Muslimin. Atau apakah telah kamu me¬nyaksikan seketika telah dekat kepada Ya’qub kematian, tatkala dia berkata kepada anak-anak-nya: Apakah yang akan kamu sembah se-peninggalku ? Mereka men¬jawab: Akan kami sembah Tuhan engkau dan Tuhan bapak-bapakmu, Ibrahim dan Ismail dan Ishaq yaitu Tuhan Yang Tunggal, dan kepada¬Nyalah kami akan menyerah diri (Muslimin).
Benarkah Kita Sayang Kepada Anak Kita?
Kita sebagai orang tua sering kali berkata, untuk anak apapun akan kita lakukan. Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala, peras keringat, banting tulang semuanya itu tak lain adalah untuk anak-anak kita.
Jika menjadi orangtua yang kaya-raya pun, kalau bisa harta akan menanggung hidup hingga keturunan kesekian.Sayangnya disaat yang sama, kita lupa banting tulang juga agar anak kita tidak menjadi hancur lebur menjadi bulan-bulanan dihajar malaikat mungkar dan nakir di alam barzakh, akibat tidak mengenal Tuhannya.
Lupa menjaga anak kita agar tidak dibakar, mati, dihidupkan, dibakar lagi, mati lagi, dihidupkan lagi dan seterusnya di kampung yang bernama Neraka.
Begitu banyak kisah perebutan harta bahkan disaat orang tua masih berjuang untuk menghadapi sakratul maut. Itulah balasan dari anak-anak kita terhadap apa yang kita usahakan mati-matian jika tidak diiringi dengan menanamkan nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah SWT.
Yang paling menyedihkan adalah jika bukan ucapan terimakasih dan pelukan sayang yang kita terima saat berada di negeri akhirat dari anak-anak kita, tetapi pemandangan buruk dari siksaan yang mereka terima, kemudian anak-anak kita pun mengajukan tuntutan keadilan kepada Allah SWT atas kelalaian kita dalam membesarkan mereka yang tidak pernah berupaya untuk mendekatkan mereka kepada Tuhannya. Wallahu a’lam bish-shawab[]
Sumber: Sajadalife