JIKA imam duduk dikarenakan suatu hal seperti sakit, atau lemah, atau cacat, atau yang lainnya, maka jika makmum mampu untuk berdiri, wajib untuk berdiri. Karena qiyam (berdiri) termasuk rukun salat. Tidak boleh ditinggalkan oleh orang yang mampu untuk melakukannya walaupun dengan alasan mengikuti imam. Ini merupakan madzhab Syafi’i, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian ulama Malikiyyah.
Dalilnya, hadis Aisyah – radhiallahu ‘anha- dalam kisah salat Nabi ﷺ dengan para sahabat dalam kondisi sakit yang menghantarkan kepada kematian beliau. Dimana, awalnya nabi ﷺ agak berat untuk keluar memimpin salat berjama’ah sehingga memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para sahabat. Setelah salat berjalan, ternyata nabi merasa agak ringan sehingga beliau keluar untuk ikut salat berjama’ah.
BACA JUGA: Mendahului Imam
Dalam potongan kisah tersebut disebutkan oleh Aisyah:
فَجَاءَ فَجَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ جَالِسًا وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمًا يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقْتَدِي النَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
“Maka beliau datang dan duduk di sebelah kiri Abu Bakar, lalu nabi ﷺ mengimami para sahabat dalam kondisi duduk, sedangkan Abu Bakar dalam kondisi berdiri. Abu Bakar mengikuti salat Nabi ﷺ sedangkan para sahabat yang lain mengikuti salat Abu Bakar.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafadz di atas lafadz Imam Muslim].
Menurut imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) dalam kitab “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab” (4/265), riwayat ini secara jelas menunjukkan bahwa nabi ﷺwaktu itu menjadi imam bagi Abu Bakar dan para sahabat yang lain. Jika memang berdirinya Abu Bakar dan para sahabat terlarang, tentu nabi akan memerintahkan mereka untuk duduk walaupun dengan isyarat atau akan meluruskannya setelah salat selesai. Jika tidak, berarti ini menunjukkan taqrir (persetujuan) dari beliau terhadap hal itu.
Adapun hadis Anas bin Malik –radhiallahu ‘anhu-, dimana Nabi ﷺbersabda :
إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Imam dijadikan untuk diikuti. Apabila dia takbir, hendaknya kalian takbir. Apabila rukuk, hendaknya kalian ikut rukuk. Dan apabila dia salat dalam keadaan duduk, hendaknya kalian juga ikut duduk semua.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadis ini ini telah dimansukh (telah dihapus) hukumnya dengan hadis yang sebelumnya. Karena hadis sebelumnya, merupakan hadis yang paling akhir, dimana tidak lama setelah itu nabi ﷺmeninggal dunia. Hal ini dijelaskan oleh Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam “Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab” (4/266) :
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَغَيْرُهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ هَذِهِ الرِّوَايَاتُ صَرِيحَةٌ فِي نَسْخِ الْحَدِيثِ السَّابِقِ
“Imam Asy-Syafi’i, para sahabat-sahabat beliau, serta selain mereka dari ulama ahli hadis dan ahli fiqh menyatakan : sesungguhnya riwayat-riwayat ini (salah satunya hadis Aisyah di atas) secara gamblang dalam (menunjukkan) penghapusan hadis yang telah lalu (maksudnya hadis Anas bin Malik).”
BACA JUGA: Imam yang Lebih Ringan dan Lebih Sempurna Shalatnya
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) berkata :
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا جَوَازُ صَلَاةِ الْقَائِمِ خَلْفَ الْقَاعِدِ الْعَاجِزِ وَأَنَّهُ لَا تَجُوزُ صَلَاتُهُمْ وَرَاءَهُ قُعُودًا وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْحُمَيْدِيُّ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ
“Telah kami sebutkan, sesungguhnya madzhab kami (syafi’iyyah) seorang yang salat berdiri boleh untuk (bermakmum) di belakang seorang (imam) yang duduk karena tidak mampu. Dan sesungguhnya tidak boleh bagi mereka untuk salat di belakangnya dalam keadaan duduk. Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian ulama Malikiyyah berpendapat dengan pendapat ini.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 4/265]
Adapun hadis : “Janganlah salah seorang dari kalian mengimami setelahku dalam keadaan duduk”, adalah hadis mursal dhaif (lemah), karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Jabir Al-Ju’fi yang telah disepakati akan kelemahannya. Demikian dinyatakan oleh Imam Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Asy-Syafi’i dan An-Nawawi –rahimahumullah-. Semoga bermanfaat. []
Wallahu a’lam bish shawab.
Facebook: Abdullah Al-Jirani