Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Pengasuh grup online Obrolan Wanita Islamis (BROWNIS)
PERISTIWA pernikahan dini selalu menggemparkan. Disoroti, bukan saja dampak dari segi kesehatan wanita, tapi juga segi psikologis menghawatirkan. Baru-baru ini di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, seorang bocah laki-laki berusia 13 tahun yang baru lulus Sekolah Dasar (SD) berinisial RK ini menikahi seorang siswi SMK berinisial MA (17 tahun) (TRIBUN-MEDAN.COM/1/9/2018). Pernikahan dini ini terjadi di rumah mempelai wanita di Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng, yang berjarak sekitar 130 kilometer dari Kota Makassar.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari 300,000 rumah tangga di seluruh provinsi di Indonesia, jumlah pernikahan dini di Indonesia pada 2015 mencapai angka 23%. Hal ini juga memengaruhi sekolah mereka, sebab kebanyakan anak yang menikah muda akan putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan.
Kepala Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Ikilah Muzayyanah mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor masih maraknya pernikahan di Indonesia. Di antaranya, budaya dan kurangnya pengetahuan tentang bahaya pernikahan dini. “Orang masih menganggap kalau menolak lamaran pernikahan itu tidak sopan, mereka juga takut anak perempuannya jadi perawan tua,” ujar Ikilah.
BACA JUGA: Ini Alasan Orang Tua Nikahkan Anak Baru Lulus SD dengan Siswi SMK di Sulsel
Penelitian dari UNICEF, terdapat banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh pernikahan dini, yaitu: Wanita usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal saat hamil dan persalinan daripada wanita usia 20-24 tahun. 85% wanita mengakhiri pendidikan setelah menikah. Wanita yang menikah dini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, dan pikiran bunuh diri. Mereka masih tidak mengerti hubungan seks aman, sehingga meningkatkan risiko infeksi menular seksual seperti HIV.
Pengantin anak memiliki peluang besar untuk mengalami kekerasan fisik, psikologis, emosional, dan isolasi sosial. Pernikahan seharusnya dilakukan karena pasangan telah siap secara psikologis, emosional, fisik, serta finansial. Sebagai penutup dari pendapat bahwa menikah dini adalah buruk mereka menambahkan bahwa pernikahan anak di bawah umur tentunya tidak bisa memenuhi semua syarat itu. Saat masih muda, sepantasnya kita masih belajar di sekolah dan berusaha mencapai cita-cita dalam hidup, bukan menikah.
Sesungguhnya hari ini pernikahan yang sebenarnya sesuatu yang sunnah dan sakral telah bergeser dari makna sebenarnya karena paradigma yang salah. Baik terkait usia, tujuan dan periayaahannya. Bagaimana Islam tentang pernikahan? Rasulullah Saw bersabda:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menjadi perisai baginya” (HR. Jama’ah dari Ibnu Ma’ud)
Dalam Islam tidak ada istilah menikah dini, patokan seseorang dewasa atau belum hanyalah telah sampainya masa baligh bagi anak laki-laki atau perempuan. Jika laki2 dibatasi hingga maksimal usia 15 tahun sementara jika perempuan adalah ketika dia mendapatkan haid pertamakali. Masalahnya, negara Indonesia juga negara-negara di dunia ini justru menetapkan angka dewasa itu jauh diatas Islam, akibatnya ada kekacauan karena setiap anak yang sebetulnya sudah mampu menikah malah menjadi tersangka ketika dia hendak menyalurkan nalurinya yang memang telah fitrah diciptakan Allah.
BACA JUGA: Sudah 3 Tahun Menikah Belum juga Punya Anak, Kenapa?
Pembatasan usia nikah sesungguhnya memberikan efek yang lebih mengerikan. Seperti kehamilan di luar nikah, menyebarnya penyakit menular, perdagangan perempuan dan anak, aborsi, penyimpangan prilaku seksual dan lain sebagainya. Sejumlah 41 persen atau hampir setengah dari 208 juta kehamilan di seluruh dunia merupakan kehamilan yang tak direncanakan. Berdasarkan data yang dirilis WHO (World Health Organization), 11 persennya berasal dari remaja perempuan berusia 15-19 tahun. Itu artinya, dalam satu tahun terjadi 16 juta kehamilan pada remaja perempuan. Sungguh merupakan angka yang menakjubkan, bukan? (Kumparan.com/3/3/2017)
Artinya, terkait pernikahan negara ini telah membangun solusi tidak pada akar persoalan. Seharusnya bukan fokus pada pembatasan usia, namun dengan aturan apa negara mesti mengurusi urusan warga negaranya. Setiap hukum dalam Islam terintegral dengan hukum yang lainnya, sehingga didapatkan hasil yang terbaik dan menyeluruh. Maka, persoalan pernikahan ini tidak akan berhenti pada pengaturan rukun sahnya pernikahan saja tapi juga kepada bagaimana pendidikan dengan kurikulumnya mampu mencetak generasi yang tangguh dan bertakwa yang sadar dia hidup di dunia untuk apa dan bagaimana ia menjalankan seluruh taklif syara yang ada di pundaknya.
Demikian pula peraturan sosial akan menciptakan kondisi yang kondusif kepada masyarakat agar aurat tidak terekspos dan syahwat tidak terstimulasi berlebihan, peraturan ekonominya Islam, peraturan keamanannya Islam dan lain sebagainya. Sehingga siapapun hendak menikah maka yang muncul bukan semata dukungan namun juga solusi praktis yang menjadikan mereka mampu beribadah lebih optimal. Dengan Islam, jika jodoh itu datang mengapa harus ditentang? Wallahu a’lam biashowab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.