Oleh: Gaw Bayu Gawtama
MASJID terlihat penuh sejak hari pertama bulan Ramadhan, di malam hari saat salat tarawih, bahkan di waktu subuh. Di waktu-waktu salat lainnya, seperti dzuhur dan ashar, masjid pun disemuti orang-orang yang singgah untuk shalat kemudian melepaskan penat dan lelah usai bekerja. Sebagian tampak serius mendengarkan ceramah selepas zhuhur. Adakah suasana seperti itu bisa kita temui di bulan lain selain Ramadhan? Jika Allah tak menciptakan bulan Ramadhan untuk kehidupan kita, mungkinkah masjid kita dipenuhi jamaah setiap malam dan waktu subuh?
Di banyak tempat, hampir setiap saat bisa kita saksikan orang-orang, muda dan tua, khusyuk memegang mushaf al-Qur’an. Seolah menjadi bacaan wajib yang tak boleh tertinggal untuk menghiasi hari dengan lantuan ayat suci, tak peduli di mana mereka berada. Di dalam bis, gerbong kereta, dalam kelas, kampus, di kantor, bahkan dalam kendaraan pribadi pun diperdengarkan suara yang semakin mendekatkan kita kepada Allah. Andai hari-hari terakhir yang kita saksikan saat ini bukan hari-hari Ramadhan, adakah orang-orang yang menjadikan al-Qur’an bacaan wajibnya setiap hari, bahkan setiap usai salat lima waktu sebanyak saat ini?
Orang-orang berlomba memperbanyak sedekah, infak dan zakat seolah esok hari kita akan mati, sehingga merasa punya cukup bekal untuk berhadapan dengan Allah. Jika Allah tak menjanjikan ganjaran berlipat ganda untuk setiap amal shalih, infaq dan sedekah yang dilakukan di bulan Ramadhan, mungkinkah sama semangat kita untuk beramal shalih? Sebesar saat Ramadhan kan sedekah yang kita beri?
Di waktu-waktu menjelang maghrib, para tetangga saling hantar penganan berbuka. Masjid-masjid membuka pintu lebar-lebar, kemudian mengundang fakir miskin dan orang-orang dalam perjalanan untuk berbuka puasa bersama, menikmati penganan seadanya. Begitu adzan berkumandang, keceriaan fakir miskin begitu jelas terlihat meski hanya segelas teh manis dan tiga buah kurma di tangan mereka. Jika tak pernah ada yang menjelaskan bahwasanya pahala memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa sama dengan pahala berpuasa itu sendiri, akankah tetap tersedia makanan berbuka di berbagai masjid? Adakah saling hantar makanan oleh orang-orang bertetangga?
Sejuk, nyaman dan aman. Inilah suasana yang tercipta dan kita rasakan selama bulan Ramadhan. Semua orang di hadapan kita begitu mempesona, dan yang kita jumpai pun tampak baik, sabar, serta menahan amarah mereka. “Jangan marah, kan sedang berpuasa,” itu nasihat yang sering kita dengar saat amarah memuncak, redalah hati. Senyum persaudaraan senantiasa kita dapatkan di mana pun kita berada. Akankah hari-hari penuh kesejukan seperti ini yang tetap bisa kita rasakan seandainya Ramadhan tak pernah ada?
Kepedulian terhadap sesama begitu tinggi di bulan ini, mungkin pengaruh perut lapar kita yang ikut merasakan betapa banyak orang-orang yang tetap “berpuasa” meski bukan di bulan Ramadhan. Saling berbagi, memberi dan empati amat ringan tercipta dari tangan dan hati kita. Tetap pedulikah kita di bulan selain Ramadhan? Masih adakah yang akan terus kita bagi kepada orang lain, meski tak lagi di bulan Ramadhan?
Jika Ramadhan tak pernah ada, masihkah kita jumpai kebaikan, kepedulian, dan kesejukan dalam kehidupan sehari-hari? Akankah semua kenikmatan itu hanya seperti buah kurma, yang muncul khusus di bulan Ramadhan saja. Kemudian hilang entah ke mana sehari setelah hari raya, sehari setelah kita saling bermaafan, sehari setelah kita merayakan hari kemenangan.
Beruntunglah kita, karena Allah menghadirkan Ramadhan untuk hamba-Nya. Akan sangat beruntunglah kita, jika kita mampu menghadirkan nuansa Ramadhan di lain bulan selain Ramadhan. Semoga. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word