TIBA-TIBA saja suami Anda menyatakan akan melakukan poligami, tiada angin tiada badai. Apa yang harus Anda lakukan?
Pertama, sikap menerima. Dalam situasi yang khusus di mana terjadi sesuatu yang menimpa istri sehingga tidak mampu melayani suami secara maksimal sementara suami adalah figur yang dipercaya bisa adil, memiliki hasrat syahwat yang kuat dan secara ekonomi mencukupi, maka adalah keputusan bijaksana bagi istri untuk mengijinkan, bahkan kalau perlu menyarankan, suaminya untuk menikah lagi dengan tetap mempertahankan istri pertama. Kondisi khusus yang menimpa istri tersebut seperti mandul, istri menderita sakit yang berkepanjangan, masa haid yang terlalu panjang dalam setiap bulannya, dan lain-lain.
BACA JUGA: Inilah Penjelasan Mengapa Islam Bolehkan Poligami tapi Larang Poliandri
Yang dimaksud suami yang adil adalah kemampuan suami untuk adil atau memberi perlakuan yang salam dalam hal-hal yang bersifat fisik dan materi seperti nafkah sehari-hari, giliran menginap, sandang dan papan. Adapun adil dalam segi kesamaan hati dalam mencintai, maka itu termasuk hal yang tidak akan dapat diberikan suami dan itu dimaafkan. Keadilan hati tidak menjadi syarat dalam poligami seperti tersebut dalam firman Allah dalam QS An Nisa 4:129: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
Sikap istri pertama yang menerima untuk dimadu dalam situasi di atas akan lebih baik daripada sebaliknya. Karena, dengan keadaannya yang sekarang kalau dia meminta cerai, maka kecil kemungkinan dapat menikah lagi dengan pria lain. Selain itu, berada di bawah perlindungan suami jauh lebih baik daripada hidup sendiri sebagai janda. Walaupun seandainya secara ekonomi cukup mandiri. Karena wanita janda yang hidup sendiri akan banyak mendapat fitnah dan gunjingan dan hidup sendiri tanpa anak dan suami di usia yang tidak muda lagi bukanlah kehidupan yang menyenangkan.
Kedua, sikap pilihan antara menerima atau menolak. Kondisi istri normal, sehat dan rumah tangga dikaruniai anak. Dalam situasi demikian suami ingin menikah lagi dengan wanita lain yang tentunya lebih muda dan cantik. Istri pertama percaya bahwa suami dapat berlaku adil. Maka, ia punya pilihan untuk rela berbagi suami dengan wanita lain atau menolaknya dengan meminta cerai kalau ia yakin perpisahan akan membuatnya lebih bahagia. Namun keberadaan anak harus menjadi pertimbangan untuk tetap meneruskan hidup berumahtangga terutama apabila ada ketergantungan istri pada suami secara ekonomi. Membuang ego dan bersabar adalah lebih baik demi tujuan yang lebih besar yakni masa depan anak.
BACA JUGA: Antara Islam, Monogami dan Poligami
Ketiga, menolak lebih baik. Rumah tangga berjalan normal, istri sehat dan dikarunia anak, namun suami berperilaku buruk. Suatu hari suami memutuskan untuk menikah lagi. Istri yakin suami tidak akan adil baik dari segi nafkah lahir atau perlakuan lain. Maka, meminta cerai lebih baik demi ketentraman diri dan masa depan anak. Walaupun mungkin istri masih mencintai suami. []
Sumber: Buletin El-Ukhuwah PP Al-Khoirot Putri Malang/Penulis: A. Fatih Syuhud