TANYA: Jika tidak ada sertifikat halal, pastikah haram?
JAWAB: Dikutip dari Rumaysho.com, Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hukum asal segala sesuatu dilihat dari perbedaan tingkatan dan sifat, semuanya adalah halal bagi manusia. Juga hukum asalnya adalah suci, tidak haram untuk dikenakan, diminum, atau disentuh. Ini kaedah yang mencakup berbagai macam masalah dan kaedahnya sifatnya umum. (Majmu’ Al-Fatawa, 21: 535)
Kebanyakan ulama pun berpandangan bahwa hukum asal segala sesuatu itu boleh. Para ulama mengatakan dalam kaedah fikih, “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh.”
Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dia-lah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS. Al-Baqarah: 29)
Begitu pula firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS. Al-A’raf: 32)
Dalam hal bisnis pun demikian, para ulama katakan, “Hukum asal dari muamalah (transaksi) dan hukum asal untuk adat adalah halal dan boleh kecuali ada dalil yang menyelisihinya.”
Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam bait sya’ir kaidah fikihnya, “Hukum asal air adalah suci, begitu pula tanah, baju dan bebatuan.”
Maka setiap aspek yang berkaitan dengan urusan dunia (non-ibadah), boleh dan halal kita lakukan. Termasuk di sini dalam hal pakaian, asalnya halal. Sama halnya dengan zat kosmetik. Kecuali ada kandungan yang haram dalam pakaian seperti mengandung sutera atau ada zat haram dalam kosmetik, barulah haram.
Adapun tempat wisata apakah butuh dilabeli halal? Ini mesti melihat dari beberapa sisi. Dari sisi tanah yang ditempati, tentu asalnya boleh ditempati. Kecuali jika tanah tersebut adalah tanah bersengketa atau bermasalah, barulah terlarang. Adapun dari sisi kegiatan yang ada dalam wisata tersebut, itulah yang perlu ditinjau. Misalnya, tempat wisata yang dilegalkan dengan prostitusi dan miras.
Sehingga kalau ditanyakan, hal-hal dunia di atas apakah perlu ditelusuri kehalalannya?
Jawabannya, asalnya semuanya halal kecuali ada permasalahan yang bertentangan dengan syari’at.
Setiap Kemasan Makanan Haruskah Ada Label Halal?
Wallahu a’lam, selama yang menjual adalah muslim, maka asalnya makanannya adalah halal untuk dikonsumsi walau tidak memiliki label halal. Sikap ini menunjukkan bahwa kita mengedepankan prasangka baik pada mereka. Berbeda halnya jika ada masalah dalam makanan tersebut.
Coba perhatikan hadits berikut.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ada suatu kaum yang berkata, “Wahai Rasulullah, ada suatu kaum membawa daging kepada kami dan kami tidak tahu apakah daging tersebut saat disembelih dibacakan bismillah ataukah tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Ucapkanlah bismillah lalu makanlah.” (HR. Bukhari, no. 2057).
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh di pasar kaum muslimin, asalnya halal. Begitu pula dengan hasil sembelihan mereka karena asalnya namanya muslim sudah paham keharusan membaca ‘bismillah’ saat menyembelih. Oleh karenanya, Ibnu ‘Abdil Abrr berkata bahwa sembelihan seorang muslim boleh dimakan dan kita berprasangka baik bahwa ia membaca bismillah ketika menyembelih. Karena kita hendaklah berprasangka yang baik pada setiap muslim sampai jika ada sesuatu yang menyelisihi hal itu. Demikian disebutkan dalam Fath Al-Baari, 9: 786.
Perlukah Sertifikat Halal MUI?
Disebutkan dalam web halalmui.org, sertifikat Halal MUI adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.
Apa tujuannya?
Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga dapat menenteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya. Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara menerapkan Sistem Jaminan Halal.
Kalau kita melihat keterangan di atas, berarti sertifikat halal adalah niatan baik dari MUI agar makanan di pasaran terjaga dari kecurangan pihak yang ingin menyalurkan yang haram di tengah masyarakat kita yang mayoritasnya muslim.
Kita sebagai pelaku usaha pun tetap harus memenuhi aturan ini, di samping menanamkan rasa percaya pada konsumen, juga untuk menjalankan firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 59). Maksud kalimat ‘taatlah pada ulil amri’, yaitu taatlah pada pemimpin. Demikian pendapat dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Aslam, As-Sudi dan Maqatil.
Berarti yang membuat regulasi ini adalah pemerintah lewat MUI, maka rakyat harus manut dan memenuhi aturan tersebut.[]
Sumber: https://rumaysho.com/13083-tidak-ada-sertifikat-halal-pastikah-haram.html