Oleh : Newisha Alifa
newishaalifa@gmail.com
BENAR dan salah itu seharusnya jelas. Namun hati terkadang ragu, hendak ke mana mau berpihak. Keraguan yang muncul, biasanya karena kita kesulitan membedakan; mana yang benar dan mana yang salah?
Adalah berbahaya jika sentimen pribadi sudah menodai fungsi hati untuk menentukan keberpihakannya. Ketika satu dua kali, seseorang tak tunduk pada apa yang kita sepakati. Saat tiga empat kali, ia tak melihat dari sudut kita memandang. Lantas beberapa kali situasi membuatnya buruk di mata kita. Penilaian pun selesai; segala hal yang ia sampaikan mesti salah!
Pasti ada titik untuk dipermasalahkan! Mengabaikan nilai-nilai kebenaran atau kebaikan, yang coba dibagikannya pada orang banyak. Ketika yang lain bisa memahami dan mengambil hal positif di balik apa yang ia sampaikan, maka hati kita tetap membantahnya!
“Tidak! Dia salah! Tidak begitu seharusnya! Apa yang kukritiki harus ia ikuti! Jika tidak, ia bersalah! Jika ia menolak saranku, maka ia antikritik! Hanya sibuk pada pujian dan komentar bagus! Ya, dia begitu orangnya!” Lantas bahak tawa ala Rahwana membahana di hati kita.
Ya. Segumpal darah ini tanpa sadar telah diperciki dengki. Membuat apa pun yang dilakukan orang yang kita dengki, selalu salah bahkan berperan sebagai penjahat di mata kita. Camkan; se-la-lu salah! Tak pernah benar.
BACA JUGA:Â Saudaraku, Jauhilah Sifat Dengki
Otak dan hati sudah bersinergi. Menyimpan nama orang tersebut untuk ditemukan kesalahannya! Ketika kebanyakan orang tidak menyadari, atau tak mempermasalahkan apa yang memang seharusnya tak perlu diangkat ke permukaan, kita … Ya, kita … Menjadi orang yang paling jeliiiiii sekali menemukan kesalahannya, bravo! Tawa Rahwana pun kembali menggetarkan singgasana hati kita.
Kita sibuk mempermainkan logika dan memutarbalikkan kata, hanya untuk memenuhi satu hal yang sudah tersetel otomatis; membantah apa pun yang keluar dari dirinya. Selama ia tak berpikir seperti kita, maka ia perlu dilawan. Titik.
Eh … Apa pula yang dilakukannya tiba-tiba? Kenapa ia melunak? Lho, kenapa ia malah mendekati kita dengan santun? Halahhhhh … Taktik lama! Lihat! Kini ia tengah menjilat! Agar tak lagi ia kita serang dengan komentar-komentar pedas, sadis, yang kita bungkus dengan alibi; kritik dan saran membangun. Padahal sejatinya lebih kentara menjatuhkan.
Seseorang yang namanya sudah kadung kita tandai untuk didengki, membuat hati tak berfungsi lagi dalam membedakan mana yang haq dan bathil. Bahkan kalaupun ia menyampaikan, “Di sana ada jurang!”
Walaupun sebenarnya hati menjerit, “Sepertinya apa yang ia katakan benar.” Namun tersebab dengki sudah terlanjur merajai diri, kita memutuskan untuk terus berjalan ke jalur yang sudah diperingatkannya sebagai jurang. Terus berjalan, hingga benar, nampak jurang curam menganga di hadapan kita. Saat hendak membalikkan badan untuk beranjak, kita malu. Lantas menunggunya untuk pergi lebih dulu, agar ia tak sampai melihat kita berbalik badan, dan sedang menjauh dari tepi jurang. Gengsilah! Masa ia harus terbukti benar sih?
Astaghfirullah … Astaghfirullah … Astaghfirullah.
Kita meneriaki orang lain sombong karena menolak kritik dan saran kita. Padahal sebenarnya keangkuhan itu ada pada kita, yang tidak terima atas penolakannya.
Kita melabelinya mudah mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal apa yang ia sampaikan itu, sampel dari apa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tak sadar, bahwa noktah hitam membuat kita sedang melakukan apa yang kita tuduhkan padanya.
BACA JUGA:Â Iri dan Dengki, Ini Perbedaannya (1)
Apa begini cara kita menunjukkan kepedulian terhadap sesama saudara? Mengulitinya di hadapan khalayak ramai, bahkan atas sesuatu yang memang kita cari-cari sendiri.
“Ah, sial! Kali ini tak ada cela pada isi dari apa yang ia sampaikan. Tapi tunggu, tunggu! Lihat caranya tertawa, mana pantas ia terbahak seperti itu? Memalukan! Lihat! Lihat! Caranya berbusana, salah kostum! Hahahaha … Eh, tuh apa lagi? Ya ampun! Ternyata cara berjalannya aneh! Ya Tuhan, orang seperti ini kok pedenya bukan main? Harusnya dia berkaca sebelum bicara!”
Subhanallah!
Padahal tawa, cara berbusana atau cara berjalannya sama sekali tak merugikan kita, tak membuat kita susah, tak membuat kita bangkrut! Tapi tetap kita sebut-sebut! Iyalah. Wajib hukumnya!
Lantas jika sudah terlalu jelas, bahwa kita tidak sedang mencoba memperbaiki saudara kita, tapi menyerangnya untuk dirubuhkan agar tak berdaya karena telah membantah kita. Bagaimana mungkin, kita masih berharap ia menerima kritik dan saran? Di sana juga bisa merasakan ganjalan itu. Sehingga ragu apakah benar, kritik dan saran kita itu harus ia perbaiki, atau sebaiknya diabaikan saja sebagaimana kita mengabaikan kebaikannya.
Lupakah kita, bahwa kebenaran ada untuk disampaikan, bukan untuk dipaksakan?
Lupakah kita, bahkan seorang Rasulullah SAW saja tak bisa membuat sang paman Abu Thalib melafazkan keimanan, hingga di penghujung usianya?
Duhai diri!
Jika benar kau peduli terhadap kebaikan saudaramu, maka nasehatilah ia ketika sepi. Bukan di tengah keramaian. Jangan-jangan baru kita yang tahu atau mengetahui kesalahannya. Pantaskah kita mengumbar-umbarnya, agar seluruh mata tahu ia pesakitannya?
Jika benar kau tulus menasehatinya, maka siapkanlah hatimu ketika ia belum bisa bahkan tidak pernah menerima apa yang kau nasehati. Bukan justru semua itu memantapkan hatimu untuk menghancurkannya. Karena boleh jadi, dengki itu justru akan menghancurkanmu.
Semoga …
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk membedakan mana yang hak dan yang bathil. Semoga Allah selalu melindungi kita dari keburukan iri dengki yang bisa menjerumuskan kita.
Semoga Allah adalah hulu dan muara kita sikap kita. []