Oleh: Herri Mulyono
OBROLAN tentang jilbab halal mengingatkan saya ketika jalan-jalan ke Designer Outlet, York, dua tahun lalu. Tepatnya di outlet Timberland dan Clark. Kebetulan Guide saya memang orang berpengalaman shopping, Bang Apok namanya. Ternyata dibalik indahnya sepatu-sepatu bermerek itu terdapat satu hal yang perlu di perhatikan, bahan yang dipakai untuk pembuatan sepatu itu sangat beragam. Bang Apok yang baik dan tidak sombong itu pun menguraikan dan menjelaskan ciri-ciri sepatu kulit babi itu. Walaupun sepatu berkulit bagi itu bagus dan bermerek, bagi kami tidak halal hukumnya untuk digunakan.
Bagi banyak pemakai jilbab, pertanyaan halal-tidaknya jilbab yang dikenakan menjadi kekhawatiran tersendiri. Karena hal ini berkaitan dengan diterima dan ditolaknya amal kebaikan. Sayangnya, pertanyaan tentang halal-tidaknya jilbab tersebut multipretatif. Tidak banyak informasi yang mengimbangi tulisan-tulisan pada poster jilabab yang terpampang dipinggir jalan itu. Tulisan-tulisanya terlalu singkat dan banyak kesan ‘provokatif’.
BACA JUGA: Istri ke Suami Tanya: Sepatu Biru atau Sepatu Emas?
Tapi bagi MUI, lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal pada jilbab bermerek tersebut jelas. Label halal ditujukan pada zat (materi) yang digunakan sebagai bahan jilbab tersebut, bukan pada aspek-aspek lainnya yang terlalu banyak untuk didiskusikan.
Tapi entah kenapa sertifikat MUI dan iklan jilbab halal berujung polemik. Padahal dahulu kita pernah diingatkan dengan sepatu berkulit babi, seperti diawal tulisan saya itu. Tapi ‘heboh’nya sepatu berkulit babi tidak sehebat tentang jilbab halal ini.
Apa karena ini tentang jilbab? dan jilbab adalah tentang Islam? Dan bila berbicara tentang Islam, kita kemudian dibenturkan antar satu kelompok dengan kelompok yang lain? Atau kemudian kita ikut memburu, menghujat dan mendengki dengan slogan “Kapitalisasi agama”, “Menjadikan agama sebagai alat bisnis?”
Ya memang, agama, dengan keluguannya, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan bisnis, bahkan bisa lebih dari itu, semisal menjadi alat politik. Kita sudah sama-sama tahu tentang itu.
Atau memang masyarakat kita yang terlalu lugu menafsirkan “Apakah jilbab yang Anda pakai halal?”, sehingga kita ribut mempermasalahkan halal atau tidaknya jilbab yang kita gunakan. Atau memang, ada konspirasi bang “Yudi” untuk mengadu domba kita, salah satunya dengan iklan ini. Atau mungkin, si pembuat iklan memang ingin ‘melumpuhkan lawan-lawan bisnisnya’ dengan simbol-simbol halal MUI itu?’
BACA JUGA: Berjilbab, Buat Rambut Rontok?
Terlalu banyak atau-atau, terlalu banyak kemungkinan kalau dipikirkan. Ya karena ini kemungkinan, maka bisa terjadi dan bisa juga tidak. Kita terlalu pusing memikiran dan meributkan banyak hal; padahal beli jilbabnya pun tidak.
Saya mengiuti perenungan Fahd Padheppi, dalam statusnya di salah satu media sosial dengan judul “Istriku, Maafkan Aku Jika Jilbabmu Tidak Halal”. Dan saya pun kembali bertanya-tanya kepada diri sendiri, apakah sepatu yang dipakai sudah halal? apakah nasi yang kita makan juga sudah halal?
Mari kita renungkan kembali dari mana uang yang kita pakai untuk menafkahi keluarga, membeli beragam kebutuhan. Bukan sekadar tentang jilbab. Sudah halalkah? []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word