KAFFARAT bagi pelaku yang bejima’ (hubungan suami isteri) di siang hari bulan Ramadhan adalah puasa 2 bulan berturut-turut. Namun, Ada banyak perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang kesimpulan hukum dari hadis yang menyebutkan tentang persoalan tersebut.
Hadis tersebut diriwayatkan dari Abi Hurairah ra bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah.”
“Apa yang membuatmu celaka?“
“Aku berhubungan seksual dengan isteriku di bulan Ramadhan.”
Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak? “
“Aku tidak punya.”
“Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?”
”Tidak.”
“Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?“
”Tidak.”
Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma maka Nabi berkata, ”Ambillah kurma ini untuk kamu sedekahkan.”
Orang itu menjawab lagi, ”Adakah orang yang lebih miskin dariku? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku.”
Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR Bukhari: 1936, Muslim: 1111, Abu Daud 2390, Tirmizy 724, An-Nasai 3115 dan Ibnu Majah 1671).
BACA JUGA: Jima’ di Siang Hari Bulan Ramadhan, Istri Kena Kaffarat?
Yang menjadi persoalan adalah tentang hukum bagi orang yang berjima di siang hari bulan Ramadhan, namun dia tak bisa membayar kaffaratnya.
Hadis di atas menunjukkan adanya keringanan yang diberikan secara khusus oleh Nabi Muhammad SAW kepada seorang yang melakukan jima’ (hubungan suami istri) di siang hari bulan Ramadhan.
Namun pendapat ini dibantah dengan beberapa hal. Misalnya, bahwa secara baku setiap dalil itu berlaku untuk umum, kecuali ada illat tertentunya yang menjadikannya khusus. Sehingga keringanan yang disebutkan di sana juga berlaku bagi muslim pada umumnya.
Lagi pula, mengacu kepada hadits ini dengan riwayat yang shahih, jelas bahwa keringanan ini bukan bersifat tawar-menawar antara nabi SAW dengan shahabat itu. Sebab Rasulullah SAW tidak dalam posisi menawarkan mau hukuman kaffarat yang mana. Namun beliau menanyakan kemampuan real shahahatnya itu. Sebab tidak mungkin membebani seorang yang miskin dengan kewajiban membebaskan budak. Sementara boleh jadi pelakunya sediri adalah budak.
Dalam hal ini siapa pun selain Rasulullah SAW bisa saja menjalankan pilihan-pilihan ini. Tidak dengan memulai dari yang paling ringan tentu saja, tetapi dari yang palin berat. Kalau faktanya yang bersangkutan memang tidak mampu, tentu tidak bisa dipaksakan.
Demikian juga dengan kaffarat berpuasa 2 bulan berturut-turut yang ternyata tidak mampu dilakukan, ternyata bukan pilihan melainkan kenyataan. Kenyataannya shahabat itu memang tidak mampu mengerjakannya, bukan karena malas atau ogah-ogahan.
Termasuk ketika tidak mampu juga untuk memberi makan 60 fakir miskin, itu bukan pilihan tetapi kenyataannya memang demikian. Bahkan tidak ada orang yang lebih miskin di Madinah dari shahabat tersebut.
Pada prinsipnya syariat Islam tidak akan membebani seseorang bila orang itu berada di luar kemampuan. Orang yang tidak punya harta, bagaimana mungkin diwajibkan bayar uang seharga budak? Bagaimana mungkin diminta untuk puasa 2 bulan berturut-turut, padahal dia memang nyata tidak mampu? Bagaimana mungkin diwajibkan memberi makan 60 fakir miskin, sementara dia adalah orang paling miskin di Madinah.
Bagaimana hukum tersebut berlaku di jaman sekarang?
Pada prinsipnya tetap sama. Jika seseorang punya keluasan harta, dia tidak boleh memilih memberi makan 60 fakir miskin, tapi dia harus membebaskan budak. Bahkan kalau dia sangat kaya dan untuknya membebaskan budak hanya perkara sepele, maka dia harus berpuasa 2 bulan berturut-turut.
BACA JUGA: Perhatikan 6 Hal Ini Jika Ingin Jima’ Berpahala
Jadi, keringan dalam kaffarat atau hukuman itu ada, namun hal itu didasarkan pada kemampuan atau keluasan yang dimiliki si pelakunya juga. Tidak serta merta ditetapkan sekehendak hati saja. []
SUMBER: RUMAH FIQIH