SEBAGIAN literatur kesehatan yang membahas masalah kehamilan, merekomendasikan agar suami-istri tidak melakukan hubungan intim selama trimester (tiga bulan) pertama. Alasannya, jima’ pada trimester pertama dapat membahayakan janin yang ada dalam kandungan. Tetapi, rekomendasi ini lemah.
Pertama, tidak banyak suami-istri yang mampu mengetahui kehamilan hingga beberapa minggu. Mereka mengetahui bahwa istri sudah mengandung ketika kehamilan menginjak usia 8 atau 10 minggu. Selama masa tidak mengetahui, tidak ada hambatan untuk melakukan hubungan seks. Dan ternyata tidak terjadi apa-apa.
Kedua, sejauh ini tidak ada argumentasi medis yang betul-betul kuat untuk kehamilan yang normal. Sehingga rekomendasi yang semacam ini tidak mempunyai kekuatan untuk diikuti.
Kekhawatiran sebagian orang untuk berjima’ dengan istrinya ketika hamil, bukan masalah baru. Sejak dulu orang sering mencemaskan. Dulu orang-orang Arab juga tidak berani melakukan hal itu karena khawatir akan menimbulkan mudharat terhadap anaknya. Kemudian Nabi Saw. menjelaskan kebolehannya. Judamah binti Wahb Al- Asadiyyah r.a. menceritakan hadis berikut, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
“Sesungguhnya aku hampir saja akan melarang ghilah (menyetubuhi istri yang sedang menyusui) sebelum aku ingat bahwa orang-orang Rumawi dan Persia biasa melakukan hal tersebut dan ternyata tidak membahayakan anak-anak mereka.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan: Seorang laki-laki datang lalu bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ber’azal terhadap istriku.”
Nabi Saw. bertanya, “Mengapa?” Laki-laki itu menjawab, “Aku kasihan terhadap anaknya.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Seandainya hal tersebut membahayakan, maka niscaya orang-orang Persia dan orang-orang Rumawi tertimpa bahayanya.” (Hadis ini dan hadis sebelumnya diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Alangkah panjangnya penantian jika untuk melakukan jima’ harus menunggu istri melahirkan. Alangkah lamanya waktu, jika selama merawat kehamilan tak ada suami yang membelai. Padahal jima’ di saat ini dibolehkan. Suami-istri tidak terlarang untuk melakukan jima’ meskipun perut sudah membesar.
Masalah ini perlu diketahui agar tidak menimbulkan sikap yang tidak tepat hanya karena tidak memiliki pengetahuan. Suami-istri perlu memahami agar dapat mencapai yang terbaik di saat hamil. Semoga dengan demikian, istri tidak merasa tertekan ketika suami memintanya melayani di tempat tidur saat hamil tujuh bulan. Demikian juga, semoga suami tetap bisa memberi kehangatan jima’ kepada istrinya yang sedang mengandung, terutama pada trimester kedua. Sehingga tidak ada keluhan sebagaimana saya ceritakan di awal bab ini.
Sekali lagi, jima’ ketika istri mengandung bisa tetap dilakukan. Jima’ selama hamil dan menyusui tidak berbahaya. Seandainya jima’ di waktu ini membahayakan, bangsa Persia dan Rumawi tentu sudah merasakan akibatnya. [Sumber: Kupinang dengan Hamdallah/Muhammad Fauzhiel Adhiem]