ABU Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali pernah bercerita dalam salah satu kitabnya, Ayyuhâl Walad, tentang seorang Bani Israil yang begitu taat beribadah kepada Allah. Hamba tersebut menunjukkan kesalehan tersebut hingga tujuh puluh tahun lamanya.
Suatu kali Allah mengutus Malaikat untuk memberi kabar kepadanya bahwa seluruh ibadah yang ia tunaikan itu tidak lantas membuatnya pantas masuk surga.
Saat pesan tersebut disampaikan, sang hamba ahli ibadah berujar, “Kami diciptakan Allah untuk beribadah maka sudah semestinya kami pun beribadah.”
Jawaban si hamba di atas selaras dengan bunyi ayat yang tercantum dalam Surat ad-Dzariyat ayat 56: “Wa mâ khalaqtul jinna wal insa illâ liya‘budûn (Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku).”
Ahli ibadah itu tak menunjukkan tanda-tanda protes atas kabar dari malaikat, melainkan sekadar menjelaskan bahwa ibadah 70 tahun yang ia lakukan sejatinya hanyalah wujud dari pelaksanaan perintah Allah sendiri.
Malaikat pun kembali kepada Allah dan berkata, “Ya Ilâhi, Engkau lebih tahu apa yang ahli ibadah itu katakan.”
Allah menjawab, “Apabila dia tak berpaling dari ibadah kepadaku, maka dengan kemurahan-Ku Aku pun tak akan berpaling darinya. Saksikanlah wahai malaikatmmalaikat-Ku, sesungguhnya Aku telah mengampuninya.”
***
Ibadah sebesar apa pun memang tak akan bisa melunasi seluruh anugerah Allah kepada manusia, termasuk balasan surga. Ritual ibadah, betapapun intensifnya, masih terlalu murah untuk ditukar dengan semesta karunia yang tak terhitung: mulai dari kesehatan fisik, harta benda, keamanan, kemerdekaan, hingga kesempatan dan kemampuan beribadah itu sendiri. Hanya lantaran rahmat Allah-lah manusia layak meraih kemuliaan surgawi.
Namun demikian, hubungan tak sebanding antara ibadah manusia dan karunia Allah itu tak berarti mempersilakan setiap orang berbuat semaunya, lepas dari tanggung jawab ibadah. Sebab, “Siapa tak beramal, ia tidak memetik ganjaran,” kata Imam Al-Ghazali. Hal ini menunjukkan, rahmat Allah kepada hambanya menghendaki adanya ikhtiar manusia yang sedari awal dibekali hati dan nalar.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah juga pernah bertutur, “Barang siapa mengira bahwa tanpa kerja keras ia berhasil maka sesungguhnya ia sedang melamun. Barang siapa menyangka bahwa dengan jerih payah ia berhasil maka sesungguhnya ia sedang berdoa menuju ‘kaya’.” []