TIDAK ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak ada batas maksimal untuk mahar. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
Artinya: “Dan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka qinthar.” (QS. An-Nisa [4]: 20)
Dan ada banyak pendapat tentang makna “qinthar”, salah satunya adalah, “harta yang banyak”, dan ini adalah pendapat Ar-Rabi’.
Asy-Sya’bi menceritakan bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu saat berkhutbah, menyampaikan: “Janganlah kalian berlebihan dalam mahar para perempuan. Jika ada seseorang mengambil mahar lebih dari kadar mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kelebihannya akan saya ambil untuk baitul mal.”
BACA JUGA: Pentingnya Mahar dalam Pernikahan Islam
Kemudian seorang perempuan dari Quraisy berkata, “Allah memberikan kami hak, dan anda melarang kami? Kitabullah lebih layak untuk diikuti, Allah ta’ala berfirman: وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا (Dan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambilnya kembali sekecil apapun)”.
Kemudian ‘Umar rujuk dari pendapatnya, dan berkata, “Setiap orang boleh menggunakan hartanya sesuai keinginannya.”
Adapun tentang batas minimal mahar, para ulama berbeda pendapat:
1. Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa tidak ada kadar minimal mahar, selama itu sesuatu yang bernilai sebagai harga (tsaman), barang (mabi’), upah (ujrah), atau sesuatu yang disewakan (musta’jar), maka boleh menjadi mahar. Yang tidak boleh menjadi mahar adalah sesuatu yang tidak bernilai.
Ini adalah pendapat ‘Umar bin Al-Khaththab dan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum. Juga pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Al-Musayyab, ‘Atha, ‘Amr bin Dinar, Ibnu Abi Laila, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, Ishaq dan Abu Tsaur.
Dan diceritakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyab menikahkan anak perempuannya dengan mahar sebesar dua dirham, dan beliau berkata, “Seandainya maharnya sebuah cambuk, maka anak saya halal untuknya.”
2. Hanafiyyah dan Malikiyyah, serta Sa’id bin Jubair, An-Nakha’i dan Ibnu Syubrumah, berpendapat bahwa ada kadar minimal untuk mahar.
Hanafiyyah berpendapat bahwa kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham perak atau yang senilai dengannya. Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ
Artinya: “Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian, untuk mencari istri-istri dengan harta kalian.” (QS. An-Nisa [4]: 24)
Pada Ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala mensyaratkan mahar harus berupa harta, dan tidak disebut sebagai harta sesuatu yang remeh-temeh.
Juga berdasarkan Hadits yang diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ مَهْرَ دُونَ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ
(Tidak ada mahar di bawah sepuluh dirham).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ad-Daraquthni dan Imam Al-Baihaqi, namun Hadits ini dianggap dhaif oleh keduanya.
BACA JUGA: Hukum dan Aturan Mahar dalam Islam
Sedangkan Malikiyyah berpendapat bahwa kadar minimal mahar adalah seperempat dinar emas syar’ atau tiga dirham perak murni, atau yang senilai dengan keduanya.
Ibnu Syubrumah menyatakan, kadar minimal mahar adalah lima dirham atau setengah dinar. Ibrahim An-Nakha’i menyatakan, kadar minimal mahar adalah empat puluh dirham, ada juga riwayat lain dari beliau bahwa kadar minimal mahar adalah dua puluh dirham, ada juga riwayat, satu rithl emas.
Sedangkan Sa’id bin Jubair menyatakan, minimalnya adalah lima puluh dirham.
Rujukan: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, karya Kumpulan Ulama, Juz 39, Halaman 160-162, Penerbit Kementerian Waqaf dan Urusan Keislaman, Kuwait.
Oleh: Muhammad Abduh Negara