DALAM madzhab Syafi’i, lama i’tikaf tidak dibatasi oleh waktu tertentu. I’tikaf telah dianggap sah, baik sebentar atau lama, bahkan walaupun sejenak, asalkan diniatkan dan di lakukan di masjid. Karena asal makna i’tikaf sendiri dari sisi bahasa adalah “berdiam”, baik sebentar atau lama, tanpa ada pembatasan. Oleh karena tidak ada pembatasan dari sisi syara’, maka dikembalikan kepada makna bahasanya. Ini juga merupakan madzhab Hambali.
Imam An-Nawawi -rahimahullah- (wafat : 676 H):
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الصَّحِيحَ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِنَا أَنَّهُ يَصِحُّ كَثِيرُهُ وَقَلِيلُهُ وَلَوْ لَحْظَةٌ وَهُوَ مَذْهَبُ دَاوُد وَالْمَشْهُورُ عَنْ أَحْمَدَ وَرِوَايَةٌ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ
“Telah kami sebutkan sebelumnya, sesungguhnya yang shahih (benar) dan masyhur dalam madzhab kami sesungguhnya i’tikaf sah baik dilakukan lama atau sebentar walaupun sejenak. Ini merupakan pendapat Dawud, yang masyhur dari imam Ahmad, dan salah satu riwayat dari imam Abu Hanifah.” [ Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab : 6/491 ].
BACA JUGA: Adab Itikaf di Malam Ramadhan yang Harus Diketahui
Dalam kitab “Kifayatul Akhyar” (1/208) ada tambahan penjelasan, bahwa makna “sejenak” di sini maksudnya di atas kadar minimal thuma’ninah dalam salat. Kadar minimal thuma’ninah, yaitu : berhenti sejenak dalam kondisi anggota rukuk dan sujud tenang dan stabil.
Adapun madzhab Hanafi dan Maliki berpendapaf, bahwa i’tikaf minimal sehari semalam. Jika kurang, maka tidak sah. Karena menurut mereka, i’tikaf disyaratkan harus puasa. Kami pribadi lebih condong dan ikut madzhab Syafi’i. Dan pendapat inilah yang banyak dipahami dan diamalkan masyarakat Indonesia. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani