MATARAM–Gubernur NTB TGB Muhammad Zainul Majdi memperingatkan umat Islam akan bahaya munafik yang pangkalnya pada penyakit hati. Orang munafik pun selalu ada di tiap zaman.
Hal itu ia sampaikan dalam kajian tafsir bada shalat Jumat di Masjid Hubbul Wathan. Gubernur mengkaji tentang tafsir Al-Baqarah ayat 11-15.
Tuan Guru Bajang menjelaskan, seperti telah dibahas pada ayat 10, induk kemunafikan adalah hati yang berpenyakit, yakni penyakit kekufuran yang menggerogoti diri. Maka ayat 11-15 dan seterusnya mejelaskan sifat yang muncul dari penyakit hati itu.
Imam Ghazali menyebut manusia dikomandani hatinya. Bila hatinya tidak beres, rusaklah semua pada diri manusia itu. Rusak berarti sesuatu yang bermanfaat jadi tidak manfaat. Kerusakan oleh orang munafik punya tahapan.
Pertama, sifat munafik merusak diri sendiri. “Jadi hakikatnya, kalau kita melakukan buruk, yang dirusak pertama adalah diri sendiri,” kata Tuan Guru Bajang di Masjid Hubbul Wathan, Jumat (2/6/2017).
Allah tidak pernah mendzalimi manusia, tapi manusia yang merusak diri sendiri. Semua kedzaliman akan ditanggung pelakunya.
Kedua, kemunafikan merusakan orang lain minimal pada keluarganya. Bila ayah munafik, sedikit banyak anak dan istrinya akan terbawa.
Ketiga, kemunafikan merusak masyarakat. Islam punya kaidah begitu seseorang bersyahadat ia langsung mendapat hak dan kewajiban seperti Muslim lain.
Saat Rasul hidup, di Madinah ada mereka yang mengaku beriman dengan hak dan kewajiban yang sama dengan Muslim lain, tapi hatinya kotor. Maka muncul kerentanan, musuh dalam selimut.
Peradaban besar tidak hancur dari luar, tapi dari dalam. Itu sebabnya dalam Alquran ada perumpamaan seorang perempuan penenun.
Begitu hasil tenunnya selesai, ia urai kembali hasil tenunnya. Kisah yang jadi pelajaran bagi umat Islam sepanjang masa.
“Bahaya orang munafik itu karena meruntuhkan sendi Islam yang dibangun Rasul. Mereka bersyahadat tapi hatinya penuh benci terhadap Islam. Yang seperti ini selalu ada di tiap zaman,” ungkap Tuan Guru Bajang.
Tapi, dalam ayat 11, para munafik mengatakan mereka bukan perusak, tapi orang shalih. Menurut ulama, ini indikasi amat jelas. Pendusta selalu khawatir orang lain tidak percaya padanya. Tidak ada yang ragu padanya, tapi ia ragu sendiri.
Karena itu Rasul tidak suka pada orang yang sedikit-sedikit menyebut “Demi Allah”, terlebih untuk urusan sepele. Kecuali pada urusan yang butuh penegasan kebenaran atau hal besar terkait nasib umat atau kehormatan, sumpah bisa dilakukan.
Allah sendiri menegaskan dalam ayat 11 sesungguhnya mereka (para perusak ini) lah perusak sebenarnya. Tapi mereka tidak menyadarinya.
“Allah menyebutkan ini karena para perusak itu terlalu sering sehingga menganggap kemunafikan itu sesuatu yang wajar,” kata Tuan Guru Bajang.
Dalam ayat 12, para munafik diseru untuk beriman dan mereka mengaku sudah beriman seperti orang-orang bodoh itu, yakni Rasulullah dan para sahabat. Allah menegaskan para munafik itulah yang bodoh.
Mereka tidak sadar diri hati mereka berpenyakit, tapi mereka tidak sadar. Sementara iman, mereka tidak mengetahui. Padahal iman adalah hal yang jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Di ayat 14, para munafik juga hanya mengaku beriman bila bertemu mukmin dan bertemu sekadarnya. Tapi mereka aman suka bila menyendiri atau kembali ke kelompoknya, bahkan menyiapkan pertemuan khusus.
“Dari bahasan itu saja sudah terlihat keberpihakan orang munafik terhadap orang beriman dengan sesama munafik,” kata Tuan Guru Bajang.
Allah lalu membalasnya pada ayat 15 dengan membiarkan mereka terobang-ambing dalam kesesatan. Allah membiarkan mereka dalam hal yang mereka baik padahal mereka dalam kehancuran.
Dalam konteks hari ini, para perusak ini pun banyak. Ada perusak sistem yang baik, termasuk merusak NKRI yang merupakan hasil perjuangan para ulama. Kalau penyelenggara negara dzalim terhadap masyarakatnya, itu juga merusak sistem yang baik.
Kalau ada kerabat, teman, atau keluarga yang biasa mencari kesalahan dan merusak, temanilah untuk diajak berubah menjadi baik. “Kalau tidak bisa dan kita khawatir terbawa buruk, jauhi,” kata dia.
Dunia ini kendaraan, benda yang bisa dipakai. Ia mengingatkan agar umat Islam tidak terbalik, justru yang dipakai.
Tidak ada orang yang bisa sampai pada keridhaan Allah tanpa melalui dunia. Karena itu Tuan Guru Bajang mengingatkan agar umat Islam menggunakan dunia sebaik-baiknya untuk mendapat ridha Allah. []
Sumber: Republika