SUATU hari ada seorang kakek penjual es dawet. Dia berjalan perlahan melewati pinggiran jalan raya yang penuh dengan truk dan mobil berkecepatan tinggi.
Dia tergesa-gesa mengejar adzan jum’at yang akan berkumandang. Tinggal seratus meter lagi menuju masjid.
Bergegas ia memasuki pelataran masjid. Membasuh tubuhnya dengan air wudhu dan sesekali meminum air itu.
Saya memandangnya dari jauh. Saya lihat sesekali dia menoleh ke barang dagangannya. Takut ada yang mencuri mungkin. Ketika adzan jum’at berkumandang. Dia memilih sholat di dekat dagangannya.
Ketika sholat jum’at selesai. Sang kakek duduk di dekat dagangannya. Berharap ada satu atau dua jama’ah yang menoleh dan membeli es dawetnya.
Tapi sayangnya tak ada satu pun yang membelinya. Jangankan membeli, menoleh pun tidak.
Peluh mulai membasahi tubuhnya. Bayangan akan lembaran uang lenyap bersamaan dengan sepinya masjid itu.
Di dalam masjid yang tersisa hanyalah takmir masjid dan beberapa pengurus masjid yang sibuk menghitung uang hasil infak para jama’ah.
Saya hanya diam, satu-satunya uang sepuluh ribuan yang saya bawa, telah dimasukkan ke dalam kotak infak masjid.
Sang kakek, dengan tatapan tegar kembali berjalan. Dia keluar dari pelataran masjid menuju ke arah utara, arah dimana rumah dinas saya berada.
Akhirnya saya pacu motor dengan cepat, saya tunggu dia di depan Puskesmas.
Dua puluh menit berlalu dan dari kejauhan, sang kakek akhirnya nampak.
“Pak! Paaak!”
Dan sang kakek pun mendekat. Dia bertanya, “Mau beli dawet nak?”
“Iya” jawab saya mantap.
Singkat cerita. Saya memesan dua puluh gelas untuk para keluarga penunggu pasien. Sang kakek melayani permintaan saya dengan senyum mengembang di wajahnya.
“Sudah pak, berapa semuanya?”
“Dua puluh ribu nak,” katanya berkaca-kaca.
“Ini pak, bawa saja sisa kembaliannya,” saya serahkan lembaran lima puluh ribu ke tangan kakek itu.
Dan sang kakek bertanya, “Berarti sampeyan sedekah ini ke saya nak? Matur nuwun nak. Kulo doakan semoga sampeyan lancar rejeki,” ucap sang kakek.
Sang kakek pun kembali memikul dagangannya. Kali ini jalannya semakin cepat. Mungkin karena bahagia atau karena berat dawetnya sudah berkurang setengah. Tak terasa air mata menetes di pelupuk mata.
Keesokan harinya, uang lima puluh ribu itu, dikembalikan oleh Allah. Dia kembali ke tangan saya bukan lagi sebesar lima puluh ribu, melainkan satu juta.
Masya Allah begitu dahsyat keajaiban sedekah hingga saya merasa, sebetulnya bukan saya yang sedekah melainkan sang kakek yang telah bersedekah doa kepada saya. []
SUMBER: KISAH ISLAM