SEMENJAK abad ke-17, bahasa Arab berkembang di Indonesia yang kala itu masih bernama Nusantara. Perkembangan bahasa Arab erat dengan dakwah Islam di Indonesia, terkait dengan hubungan keagamaan dan keilmuan.
Pada masa penjajahan Belanda, peran aksara Arab di Nusantara merosot dan hanya dipelajari di pondok-pondok pesantren.
Pemerintah Belanda mengganti aksara Arab menjadi aksara Latin, dan secara sistematis melemahkan pengaruh bahasa Arab di Nusantara.
Di pondok pesantren, bahasa Arab tidak dipelajari secara utuh sebagai alat komunikasi, tetapi terbatas sebagai alat mempelajari kitab-kitab keagamaan (kitab kuning).
Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa bahasa Arab hanya layak dipelajari oleh kaum sarungan di pesantren dan tidak layak dipelajari oleh kaum priayi di sekolahan.
Hal ini diperparah dengan ketidakterbukaan sebagian lembaga pendidikan pesantren terhadap modernisasi pendidikan, termasuk modernisasi pengajaran bahasa Arab.
Bahasa Arab sebagai bahasa agama, ilmu pengetahuan, dan kebudyaan telah lama bersinergi dengan bahasa Indonesia karena ikatan keagamaan (Islam) yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Karenanya, sejumlah besar kosakata Arab menyangkut masalah keagamaan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan telah akrab di telinga masyarakat Muslim Indonesia dan diserap menjadi kosakata bahasa Indonesia.
Dalam penyerapan itu, masuklah ide-ide dan konsep-konsep Islam mewarnai kondisi sosial politik, ekonomi, budaya, dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Di samping itu, muncul masalah kebahasaan karena bunyi-bunyi bahasa Arab berbeda dengan bunyi bahasa Indonesia. Akibatnya, terjadi perubahan bunyi-bunyi bahasa Arab.
Bahasa Arab berperan besar dalam memperkaya khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, baik dalam bidang agama, sastra, filsafat, hukum, politik, maupun ilmu pengetahuan. Masuknya kosakata Arab ke dalam bahasa bahasa Melayu atau Indonesia serta digunakannya abjad Arab untuk penulisan bahasa Melayu terjadi jauh sebelum era penjajahan Barat.
Kosakata Arab tersebut diserap ke dalam bahasa Melayu yang kemudian menjadi lingua franca di Nusantara yang pada gilirannya kemudian menjadi bahasa nasional. Melalui pengaruh bahasa ini, masuk pula ide-ide dan konsep-konsep keislaman dan ketatanegaraan.
Kecenderungan intelektual keagamaan yang sangat mencolok adalah perkembangan syariah dan tasawuf. Karena itu, lahirlah karya-karya monumental sastra keagamaan yang sangat kaya, bercorak syariah, dan tasawuf yang diungkapkan dalam bahasa Melayu, Arab, maupun Jawa. []
Sumber: Republika.