Oleh: Abu Rayhan, Bogor, dildaar.ahmad80@gmail.com
LEBIH dari dua puluh tahun lalu, di sebuah kota kecil, di bagian barat Provinsi Jawa Tengah, seorang bocah kecil usia sekolah dasar sedang rajin-rajinnya belajar di sekolahnya. Pagi-pagi sudah siap dan segera berjalan kaki menuju bangunan berjarak 200 meter dari rumahnya.
Seperti bocah-bocah lainnya, ia hanya tahu soal belajar, membaca, berhitung, menyimak kata-kata guru. Seperti kita semua tahu, di masa itu seorang guru mengajar berbagai mata pelajaran. Ada IPS, bahasa Indonesia, sejarah dan sebagainya. Hanya ada beberapa pelajaran yang diajar oleh satu guru saja, yaitu guru agama dan guru olahraga.
Anak kecil itu, yaitu saya sendiri, sering tertawa riang dengan seorang guru agama Islam yang rajin bercerita kala mengajar di sebuah sekolah dasar di Purwokerto. Pembawaannya periang. Kisah nabi-nabi dibuatnya bersambung di lain hari kala menceritakannya.
Hal ini membuat para murid tertarik, terkesan dan ingin sekali mengetahui lanjutannya. Itulah sisi menarik dari guru agama yang melekat di otak saya hingga sekarang.
Namun demikian, ada sisi yang mungkin bagi sebagian anak, terasa tidak nyaman. Sang guru agama itu sering menyindir perilaku dan pekerjaan buruk orangtua anak didiknya. Bukan hanya menyindir bahkan menunjuk langsung dan menyebut-nyebut pekerjaan tersebut. Misalnya, “Coba kamu, yang bapaknya berjualan nomor buntut,..!” dan lain sebagainya.
Dampaknya, ternyata ada orangtua anak didiknya yang tidak terima setelah anak mereka mengadu kepada orang tuanya. Di satu kesempatan sang orang tua mendatangi guru agama tersebut dan menegurnya keras, “Anda guru agama untuk anak-anak sekolah dasar.
Tanggung jawab anda mendidik mereka. Kalau urusannya dengan kami orangtua sampaikanlah kepada kami bukan lewat anak-anak.”
Ini adalah satu contoh pengalaman saya. Ada beberapa pengalaman lain. Namun banyak juga yang baik. Sebuah masjid, sebut saja namanya masjid al-Muttaqien, rajin mengadakan pengajian setelah maghrib dengan tema yang berbeda-beda oleh Ustadz yang berbeda.
Misalnya, Ustadz Mohammad Thohir di hari Senin dengan tema Fiqih. Ustadz Yasir di hari kamis membahas Tafsir, dan seterusnya. Terus terang, saya mengacungi jempol cukup memuji kepada para Ustadz saya yang saya ikuti pengajiannya sejak saya sekolah dasar hingga sekolah menengah. Umumnya, mereka fokus dengan isi dan detail tema bahasan. Hampir tidak pernah menyinggung pribadi seseorang.
Menjauhi menyinggung pribadi seseorang dalam pernyataan publik, khususnya dalam hal ini ceramah keagamaan (Islam) dapat dikategorikan sebagai suatu hikmah kebijaksanaan yang bernilai. Guru bahasa daerah di SLTP (SMP) saya selalu mengulang-ulang sebuah kearifan lokal yang disebutnya, “empan papan”.
Itu artinya, empan yang berarti umpan, yang bisa ditafsirkan tema atau bahasan yang hendak disampaikan harus disesuaikan dengan “papan’ atau tempatnya. Kearifan lokal “empan papan” mungkin bisa jadi adalah salah satu dari sekian arti bil hikmah, sebagaimana disebut dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surah an-Nahl.
Dalam pengalaman pribadi, terkadang saya diminta menyampaikan sepatah dua patah kata ceramah di mimbar masjid. Di masa yang masih ‘ingusan’ dalam hal umur dan pengalaman berceramah, terkadang merasa ‘gemas’ karena keburukan yang melekat pada salah satu jamaah, bisa jadi kita terpancing untuk menyindir. Iya, fatal pun terjadi. Mungkin di satu sisi puas secara emosi.
Tetapi, secara substansi, ternyata kesalahan atau keburukan yang terjadi tidak membuat terjadi perbaikan. Dilihat dari niat pun, diri si penceramah perlu dikritisi, apakah benar2 karena semata2 egoisme, emosional sesaat atau pikiran sesat, ataukah murni liLlahi ta’ala dengan niat ishlaah (perbaikan)? Jika, memang berniat ishlaah, tidakkah masih ada cara lain yang lebih hikmah?
Menyindir atau menyinggung kesalahan seseorang yang bersifat aib pribadi, mencelanya dan menyebut-nyebutkannya di acara publik tanpa keperluan yang dharurat (mengharuskan), sementara publik pun tahu siapa yang dimaksud, sedangkan orang yang dimaksud tidak ada di majlis itu, hal ini mengarah kepada ghibat atau bergunjing. Sementara, bila orang yang dimaksud ada di sana, hal itu mengarah kepada mencaci atau mencela.
Penyakit ini terkadang menjangkiti para penceramah dikarenakan ketidaksabaran dan sifat emosional. Bisa jadi sifat amarah, egois dan sekelumit ketakaburan menerpa dirinya. Ia ingin perbaikan secepatnya terjadi. Atau, ia bisa jadi tertimpa penyakit iri sehingga menyindir atau menyinggung ustadz lain yang menjadi saingannya atau dicemaskan dapat menurunkan popularitasnya.
Di sisi lain, seringkali para jamaah sangat kompleks dan bertingkat pemahaman dan kematangan emosinya. Pergaulan sosialnya pun tidak seragam. Ada sebuah peristiwa dimana seorang teman bicara saya membanding-bandingkan ceramah seorang Ustadz dan ceramah seorang Pendeta. Maklum, ia tinggal di desa yang sangat plural dan cukup leluasa menghadiri kedua ceramah dari dua sumber tersebut.
Teman bicara saya ini seorang Muslim, namun, ia memuji sang Pendeta yang menurutnya begitu ‘adem’ atau nyaman didengar karena menyentuh hati dan berkesan kalimat-kalimat. Kalimat-kalimat mengenai renungan, hikmah dan kebijaksanaan kehidupan. Sementara, ia kurang merasa simpati dengan sang Ustadz yang kerap menyindir dan menyinggung kesalahan atau keburukan para pendengar ceramahnya.
Hal yang saya sebut diatas tentu harus dipahami sebagai sebuah kasus, bukan keumuman yang terjadi. Karena, seperti telah saya sebut, saya sendiri adalah produk didikan beberapa ustadz di kampung saya yang hampir tidak pernah menyinggung pribadi orang lain dalam ceramahnya.
Namun demikian, satu kasus yang saya sebut diatas harus menjadi bahan renungan mengenai sejauh nilai-nilai keluhuran akhlak ditegakkan dalam berceramah agama.
Ia bisa menjadi bahan inovasi dan motivasi bagi para majelis-majelis taklim, pengajian atau kumpulan-kumpulan kajian Masjid dan jamaahnya agar senantiasa digarisbawahi.
Boleh jadi atau bisa saja, tema-tema yang sering dikelompokkan dalam ceramah di mimbar, seperti fiqih Islam, tafsir Al-Qur’an, berita terkini umat Islam, dan sebagainya, ditambah dengan kajian dan penyampaian motivasi – kendati pun kita sudah punya banyak guru motivator – dan renungan untuk mencari dan menerapkan hikmah-hikmah dan makrifat Qur’ani. Semoga. []