Oleh: Patrianur Patria
DUA puluh dua tahun yang lalu, seorang ayah bersama anak perempuannya berlari di bawah hujan yang telah merintik. Berbaur bersama pasangan-pasangan remaja yang sedang menikmati hari libur.
Para remaja itu terlihat bahagia bersama teman atau pasangannya di antara gerimis yang turun, sementara si gadis kecil menggigil kedinginan. Ia merapatkan tubuh kurusnya ke ayahnya. Tapi sang ayah mengacuhkannya. Ia sedang berusaha menyelamatkan sesuatu di balik jaket buluknya agar tidak kebasahan.
Mereka makin mempercepat langkah begitu melihat sebuah rumah besar. Sang Ayah mengucapkan salam. Ia membuka sandalnya diikuti sang anak.
Pintu terbuka lebar. Orang-orang di dalam rumah memandang seolah mereka orang asing yang salah alamat.
Hari itu adalah hari libur terakhir. Banyak orang berkumpul di rumah besar itu untuk menghabiskan liburan panjang. Sebagian merengut melihat kedatangan mereka.
Setelah duduk dan berbasa-basi, Ayah mengeluarkan sesuatu yang tadi disembunyikan di balik jaketnya. Dua kain jarik baru dalam plastik yang terkena cipratan air hujan.
“Saya mau jual ini, Mak.” Sang ayah berkata memulai pembicaraan. Jemari kurusnya menghapus air yang menciprati plastik kain itu.
Gadis kecil memperhatikan ayah yang berbicara di sampingnya. Ia menoleh ketika pamannya mengambil kain itu, mengeluarkannya, lalu meneliti. Mungkin takut kalau-kalau kainnya bolong.
“Baru nih?” Tanyanya tidak yakin.
“Iya, baru itu, Wan.” Adiknya tidak menimpali, ia terus meneliti kain itu satu persatu. Membuka lipatannya lalu menerawang di bawah lampu dengan tampang mengejek. Atau mungkin memang tampangnya yang seperti itu? pikir si gadis kecil.
Sang Ibu masuk ke kamar setelah berhasil menawar lalu memberikan uang pada anaknya sambil berkata,
“Kalau bisa, jangan menyusahkan kami lagi. Kamu kan tahu adik- adikmu masih banyak.” Gadis kecil memperhatikan ayahnya yang menunduk.
“Iya Mak, saya tahu. Terima kasih.” Sahut ayah sambil meraih lembaran uang di meja tanpa mengangkat wajah.
“Emak tidak bisa bantu kamu lagi, Den. Kemarin saja biaya operasi ginjalmu sampai dua juta.”
“Iya, Mak …” Ayah hanya bisa mengangguk lemah. Kepala gadis kecil bergerak-gerak mengikuti suara orang-orang yang berbicara.
“Ya sudah, kasih dulu anakmu minum. Sudah kedinginan dia.” Kata nenek yang baru menyadari kalau ternyata sang cucu juga ikut menemani ayahnya. Lalu nenek masuk ke dalam kamar tanpa menegur cucu pertamanya itu.
Si anak gadis meraih gelas yang disodorkan padanya dengan tangan gemetar karena kedinginan, lalu menghabiskan air putih yang dingin itu.
Mungkin mereka tidak mau repot menyiapkan secangkir teh hangat untuk ayah dan gadis kecil yang sedang menahan dingin dan lapar.
Sebelum pulang sang nenek memanggilnya.
“Ini ada sisa sedekah,” gadis kecil itu memperhatikan selembar uang sepuluh ribu yang diterima ayahnya.
Uang sisa sedekah dari nenek tercinta di hari libur … []