HIJRAH adalah sebuah proses kembalinya manusia ke jalan yang Allah Ta’ala ridhai setelah sekian lama berada di jalan yang salah. Di akhir zaman ini, hijrah seolah menjadi fenomena yang menjadi trend. Hal ini tentunya tidak salah dan sangat positif bagi kehidupan manusia.
Namun, hal keliru yang sering dilakukan orang ketika hijrah adalah merasa bahwa Allah Ta’ala tak akan lagi mengujinya. Mereka berpikir, setelah hijrah, hidupnya tidak akan lagi mengalami cobaan dan ujian. Bila terjadi, hal ini sangat rentan menimbulkan ‘hijrah sambel’ sehingga kembali kepada jalan yang salah.
Harus dipahami, dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, kita senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Ta’ala. Sementara semenjak diciptakan, tabiat dasar manusia memang tidak pernah merasa puas. Apabila diberi kesenangan, manusia lalai dan tak menentu. Sebaliknya jika diberi kesulitan, ia akan bersedih dan gundah gulana tak karuan. Padahal sejatinya bagi seorang mukmin, segala yang terjadi pada dirinya, seharusnya tetap menjadi kebaikan bagi dirinya. Begitulah keistimewaan seorang mukmin sejati. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
BACA JUGA: Sudah Benarkah Hijrahmu?
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ لَهُ مِنْ قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا لَهُ, إِِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila dia mengalami kebaikan, dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa keburukan, maka dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya,” (HR. Muslim no.2999, dari sahabat Shuhaib).
Benarlah, bahwasanya hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala serta tahu akan kelemahan dirinya. Tidak dipungkiri memang, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, orang yang dicinta kini telah tiada, harta benda musnah tak bersisa, berbagai agenda tertunda, bahkan segenap waktu dan perasaan tercurah untuk memikirkannya.
Musibah memang perkara yang tidak disukai ketika menimpa manusia. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 2/175).
BACA JUGA: Hijrah Itu Bukan Hanya Merubah Penampilan
تُرْجَعُونَ وَإِلَيْنَا فِتْنَةً وَالْخَيْرِ بِالشَّرِّ وَنَبْلُوكُمْ الْمَوْتِ ذَائِقَةُ نَفْسٍ كُلُّ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan,” (QS. Al-Anbiya: 35).
Ujian dan cobaan tidak akan berhenti sampai Allah Ta’ala mencabut segala bentuk kenikmatan dunia dengan kematian. Maka, sabar dan istiqamah harus mengiringi kita di saat memutuskan untuk berhijrah. Wallahu A’lam. []
SUMBER: MUSLIMAH OR ID