Oleh: Ustadz Budi Ashari
KITA coba sekarang masuk ke ilmu fikih lebih dalam. Fikih tentang: apakah wanita boleh menjadi hakim. Saya nukilkan beberapa penjelasan ulama besar di bidang fikih.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/146-147:
“Mereka (para ulama) sepakat dengan syarat laki-laki untuk menjadi hakim, kecuali Hanafiyah dan mereka hanya mengecualikan masalah hudud (hukuman-hukuman fisik). Adapun Ibnu Jarir memutlakkan hal ini. Hujjah Jumhur Ulama adalah hadits shahih: Tidaklah bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang wanita.”
Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthoniyyah h. 110:
“Adapun Ibnu Jarir Ath Thabari berpendapat syudzudz (aneh dan sendiri) dengan membolehkan wanita menjadi hakim pada semua hukum. Tetapi sebuah pendapat tidak dihiraukan jika ditolak oleh Ijma’, apalagi ada firman Allah Ta’ala: {Laki-laki (suami) itu qowwam bagi perempuan (istri), karena Allah telah Melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)}. Yakni: pada akal dan logika, maka wanita tidak boleh memimpin laki-laki.”
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 10/36:
“Bagi kami (yang diambil) adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: (Tidak berbahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang wanita). Karena seorang hakim harus hadir di majlis pertikaian dan laki-laki, diperlukan kesempurnaan logika, akal dan kecerdasan. Adapun wanita kurang akal, sedikit logika. Tidak tepat hadir di kumpulan laki-laki, tidak diterima kesaksiannya walau berjumlah 1000 wanita kecuali jika ada laki-laki bersama mereka. Tidak boleh memimpin kepemimpinan besar, tidak boleh memimpin negeri-negeri. Untuk itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mengangkat seorang wanita menjadi hakim dan pemimpin negeri, demikian juga para khalifah setelahnya dan juga siapapun setelah mereka.”
Sebenarnya ada beberapa pembahasan di dalam kalimat-kalimat para ulama di atas. Diperlukan ruang yang lebih luas untuk membahasnya. Karena dipastikan akan banyak yang protes. Itu disebabkan oleh cara pandang yang menggunakan kacamata hari ini. Tapi pembahasan kita hanya pada satu poin saja: wanita menjadi penentu hukum.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa wanita tidak diperkenankan menjadi hakim, penentu hukum. Bahkan Al Mawardi menyebutnya sebagai ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan pendapat Ath Thabari dianggap sebagai pendapat yang syadz.
Banyak yang akan mengkritik konsep Islam ini. Dan silakan. Itulah mengapa tulisan dengan judul ini hadir.
Apa keberatan orang-orang hari ini terhadap konsep yang satu ini?
Ada kelompok yang menuntut kesamaan hak dan derajat antara wanita dan laki-laki. Ada kelompok yang ‘yakin’ sedang berjuang ‘mengangkat’ harkat dan martabat wanita. Ada yang merasa memuliakan wanita dan sebagai bukti pemuliaan adalah mengangkatnya di kepemimpinan publik.
Mereka itulah yang ketika wanita dilarang menjadi hakim dalam Islam, berkata: Anda telah menuduh wanita itu makhluk yang hina dan lemah. Anda merendahkan wanita yang telah dengan luar biasa melahirkan Anda sendiri. Anda menganggap wanita tidak bisa adil. Ini tindakan diskriminatif!
Baiklah. Coba duduk sebentar. Dan renungi ulasan berikut ini.
Pertama, laki-laki dan wanita jelas berbeda
Tanyakan langsung kepada ahli otak. Apakah otak laki-laki secara fisik dan secara fungsi kerjanya sama persis dengan otak wanita? Jawaban mereka: Tidak sama. Sementara itu, dunia hukum memerlukan kecerdasan otak dan logika yang kuat. Inilah rahasia mengapa Nabi mengatakan bahwa akal wanita setengah laki-laki. Bukan dalam rangka menyingkirkan wanita. Sama sekali bukan. Tetapi Nabi sedang mengungkapkan sesuatu yang baru bisa diungkap secara penelitian ilmiah 15 abad berikut. Ya, itu di zaman kita sekarang.
Kedua, ini berhubungan langsung dengan tema keluarga
Renungilah kalimat Nabi tentang sebagian ciri istri ideal berikut,
تزوجوا الودود الولود
“Nikahilah(wanita) yang banyak kasih sayangnya dan banyak anaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasai)
Wanita yang banyak kasih sayangnya. Kalimat ini harus digarisbawahi. Karena keluarga dengan kasih sayang istri yang terbatas, akan membatasi usia pernikahan. Wanita harus memiliki persediaan kasih sayang yang sangat cukup untuk bisa dirasakan oleh suami dan anak-anaknya. Dan inilah salah satu rahasia penting langgengnya keluarga. Karena kasih sayang mampu meredam semua kelelahan, kepenatan, kebosanan dan rasa sakit.
Apa hubungannya dengan pembahasan kita tentang wanita yang menjadi penentu hukum?
Karakter hukum itu logis dan tidak basa-basi. Para penegak hukum dituntut untuk memiliki logika kuat yang cerdas dan cerdik. Perasaan dibatasi masuk ke wilayah ini.
Seorang wanita yang telah menikah mengaku berzina di zaman Nabi dan terbukti pengakuannya sah, maka tidak ada basa-basi dan tidak ada perasaan di sini. Hukum ditegakkan. Wanita itu mati mulia dengan dihukum rajam.
Seorang penegak hukum tidak berkata: menurut perasaan saya, anda melanggar hukum.
Tapi akan berkata: sesuai dengan undang-undang, pasal sekian ayat sekian, Anda diancam hukuman sekian.
Seorang penegak hukum tidak berkata: saya tidak tega memvonis anda, maka saya jatuhi vonis sekian saja.
Tapi akan berkata: sesuai dengan fakta persidangan, anda terbukti bersalah dan divonis sekian.
Bayangkan suasana seperti itu menjadi seluruh kehidupan seorang wanita. Bertahun, berpuluh tahun bergelut dengan suasana seperti itu. Bukankah, perlahan tapi pasti perasaan wanita yang mahal itu terkikis. Logika menggeser rasa. Seiring dengan itu, kasih sayang menipis bahkan bisa sirna.
Suami yang penat seharian dalam tugas wajibnya mencari nafkah, hanya perlu sentuhan rasa seorang istri yang akan membangkitkan kembali tenaga dan semangatnya. Tapi apa daya, kasih sayang itu telah menipis dan hampir sirna.
Anak-anak yang sedang terus belajar menapaki terjalnya kehidupan ini terkadang terseok terjatuh, hanya perlu sentuhan rasa seorang bunda yang akan meraih tangan mereka untuk bangkit dan belajar lebih baik lagi. Tapi apa daya, kasih sayang itu telah menipis dan hampir sirna.
Rumah, ‘surga’ keluarga muslim di dunia perlu diatur dengan sentuhan rasa dan kasih seorang wanita. Agar terlihat semakin rapi, indah dan nyaman. Tapi apa daya, kasih sayang itu telah menipis dan hampir sirna.
Suatu saat saya menyampaikan hal ini di masyarakat. Selesai kajian, saya disalami oleh seorang bapak yang berkata: Luar biasa. Saya ini pengacara dan teman-teman saya yang suami istri berprofesi pengacara rata-rata cerai. Ternyata ini jawabannya.
Ya. Laki dan perempuan yang diciptakan berbeda, justru bertujuan untuk saling melengkapi dan saling menutupi. Karena kelebihan dan kekurangan masing-masing berbeda. Kalau seorang wanita yang harusnya memiliki kasih sayang dan rasa lebih dari laki-laki, telah berubah menjadi seperti laki-laki yang sangat logis dan hampir sirna rasanya, maka seakan laki-laki itu menikah dengan ‘laki-laki’. Kalau sudah begini, jelas bukan rumahtangga namanya. Keretakan, selanjutnya karamnya bahtera tak terhindarkan.
Jadi, perdebatan jangan hanya dihentikan di bab: apakah wanita tidak bisa adil seperti laki-laki. Karena sangat mungkin wanita bisa adil seperti laki-laki.
Tapi itu bukan dunianya. Sehingga wanita pasti akan memaksakan diri. Wanita akan menabrak dan mendobrak pagar fitrahnya.
Ini peradaban egois. Wanita diminta untuk bekerja di luar kemampuannya.
Ini peradaban egois. Wanita dipuji di luar sana, tetapi tidak pernah dipikirkan nasib rumah tangganya.
Jadi…
Siapa yang sebenarnya dzalim terhadap wanita? []
Sumber: Arsip Islampos