Oleh: Fitri Amalia, fitriamalia82@yahoo.com
KATA-kata kasarnya nyelekit banget, nusuk di hati, tak sekali dua kali, sering sudah. Rasanya ingin kutimpali dengan jawaban yang lebih tajam atau paling tidak seimbang. Tapi syukurlah hati ini berkenan mengingatkan.
“Kalo lo bales apa bedanya elo sama dia? Sama-sama berlidah tajam, ngga punya tata krama kesopanan seenaknya menyakiti orang lain.”
Alhamdulillah lagi diberi kesadaran jadi bisa sekadar senyum atau berlalu tanpa membalas. Untung tak membalas, karena ternyata dia tidak bermaksud menyakiti. Memang bawaannya begitu, kata-kata itu bukan cuma buat saya tapi banyak lawan bicaranya. Sudah jadi sifat, itu kata lainnya. Karena berkata kasar sudah jadi bagian hidupnya.
Heem …, jadi alergi sama nih orang karena kuping ini risih dengar suaranya.
Hari berlalu pada akhirnya saya juga mengenal keluarganya. OMG mengertilah sekarang saya kenapa sikap teman saya seperti itu, mulutnya kurang bisa disaring. Ternyata kedua orang tuanya lebih parah lagi, ngomong nyelekit buat mereka hal biasa. Istilahnya tanpa tedeng aling-aling.
Berkaca pada ia dan orang tuanya, jadi inget diri sendiri, jangan-jangan kalau saya sering memarahi anak dengan berkata yang kasar maka anak saya akan melakukan hal yang sama pada kawannya. Atau jangan-jangan bila saya tidak mengajari anak saya cara bertutur yang baik dan tidak sering mengingatkan,
“Heh …, ngga boleh ngomong gitu!”
Maka orang akan mencap saya sebagai orang tua yang tidak bisa mendidik anak.
Atau,
Jangan-jangan bila saya berkata kasar orang tidak hanya mengingat wajah saya tapi juga mengingat orang tua saya.
“Nih ibu kalau ngomong ngga bisa disaring, pasti karena didikan orang tuanya dulu yang kurang pas.”
Mari menjaga lisan demi nama baik diri dan orang tua juga demi menjaga hati lawan bicara. []
Bengkulu, 15 April 16