Oleh : Titien SDF
RAHMAN melangkah pasti, menuruni tangga pesawat yang membawanya pulang ke kotanya, Solo. Bandara ini sudah jauh berubah. Lima tahun berada di negeri orang membuatnya tak mengenali arah mata angin. Dilangkahkannya kaki keluar bandara, di sana beberapa taksi berbaris rapi menanti penumpang.
“Hai, assalamu’alaikum, Kak Rahman, sini!” seru seorang gadis melambai ke arahnya.
Rahman menoleh, mencoba mengingat-ingat pemilik suara bergaun panjang biru tua dengan kerudung warna senada.
“Kak Aman! Lupa padaku yah?” kata gadis itu lagi.
Rahman menepuk kepalanya. Bodoh, hanya ada satu orang yang memanggilnya Aman, siapa lagi kalau bukan Muna, adik kandungnya. Wah, sudah dewasa dia rupanya, dulu waktu dia tinggalkan baru lulus SMP. Lima tahun telah mengubahnya menjadi perempuan anggun sedemikian rupa. Pantas, dia hampir tak mengenalinya.
“Wa’alaikum salam, Muna rupanya. Kakak hampir tak mengenalimu, bagaimana kau bisa cepat mengenali kakak?” tanyanya penasaran.
“Kak Aman tak banyak berubah. Dan, cara kakak berjalan itu, Muna hapal sekali,” jawab gadis itu tertawa, “abah dan umi memintaku menjemputmu.”
“Kau sendirian? Naik apa? Tak baik anak gadis bepergian sendirian,” tanya Rahman.
“Kak Aman berlebihan, aku sudah dewasa. Lagi pula, ini tak terlalu jauh dari rumah. Aku bawa mobil abah. Ayo, Kak. Mereka pasti sudah menunggu.”
Rahman mengikuti Muna masuk ke dalam mobil. Dibiarkannya Muna memegang kemudi. Sepanjang perjalanan, Rahman mencoba mengingat kembali setiap jalan yang dilewatinya.
Keterlaluan kau, Man. Lima tahun tak pernah pulang. Untung kedua orang tuamu masih hidup, kalau tidak, kau pasti akan menyesal, teriak sebuah suara dalam kepalanya.
Itu karena penduduk kampungnya sebagian besar masih menganut aliran kepercayaan. Mereka suka percaya tahayul dan klenik, itu yang tak kusukai, sergah sisi lain batinnya. Beda dengan di Kairo, hidupku dikelilingi orang yang tahu agama. Jadi termotivasi oleh mereka.
***
“Nak Rahman, setiap muslim punya kewajiban berdakwah. Menyeru pada kebajikan, menyeru pada agama. Maka Allah menjadikan umat manusia itu dengan berbagai macam sifat dan karakter, adat dan budaya. Dan Dia turunkan pengetahuan atas orang-orang yang mau mempergunakan akalnya. Agar mereka senantiasa menyelaraskan kehidupan dunianya dengan bekal akhiratnya. Kau sudah meluluskan kuliahmu. Kau juga sudah mengkhatamkan hapalan qur’anmu. Pulanglah ke negrimu, bantu orang tuamu berdakwah. Lagi pula, mereka pasti sangat merindukanmu.”
Kata-kata Ustad Syafiurrahman benar-benar menggores dan menyadarkanku. Seolah baru bangun dari tidur panjang. Padahal abah dan umi yang mengirimku ke sini.
Maafkan Rahman, Abah, Umi. Rahman kurang peduli pada isi hati kalian, keluhnya. Perlahan, bulir air mata menetes jatuh satu-satu di pipinya.
“Kak Aman menangis?” sentuh Muna pada pipinya.
“Kak Rahman ingat abah-umi,” jawabnya sekenanya.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah. Rahman tersentak melihat bangunan di sisi barat rumahnya tinggal reruntuhan.
Bangunan itu dulunya sebuah surau kecil tempat abah dan umi mengajar anak-anak membaca alqur’an.
“Ada apa dengan surau kita, Muna?”
“Ceritanya panjang, Kak. Nanti saja ceritanya, sekarang Kakak temui abah umi dulu. Mereka sudah menunggu.”
Rahman mengikuti langkah adiknya. Rumah mereka yang dulu agaknya baru selesai direnovasi. Abah dan umi ternyata sudah menunggu di ruang tamu.
“Assalamu’alaikum Rahman, bagaimana kabarmu lima tahun ini,” sambut Umi memeluknya. Wajah teduh itu terlihat begitu tua dan lelah.
Rahman mencium tangan umi dan abah bergantian seraya berkata, “maafkan Rahman, Umi, Abah, Rahman terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga lupa memberi kabar. Alhamdulillah, kuliah Rahman sudah selesai, hapalan qur’an Rahman juga sudah khatam.”
“Alhamdulillah, barokallah ya, Nak,” kata abah mengelus kepala Rahman.
“Apa yang terjadi dengan surau kita, Abah, Umi?” tanya Rahman penasaran.
“Abah juga kurang mengerti, Nak. Dua tahun lalu, teman SMAmu, Umar, berkunjung ke sini. Dia kasihan melihat Abah, Umi dan adikmu mengajar anak-anak baca tulis alqur’an. Dia pun datang bersama teman-temannya menawarkan bantuan. Mereka memoles surau kita hingga terlihat lebih baik dari sebelumnya. Mereka membantu mengajar anak-anak tanpa dibayar. Kalau dulu hanya beberapa anak yang mau belajar, sejak kedatangan Umar dan teman-temannya, mereka terus bertambah. Dalam sekejap, surau kita menjadi begitu hidup. Tak hanya itu, mereka juga menggelar pengajian umum setiap Jumat malam. Abah dan Umi sangat senang. Rasanya seperti mimpi. Maka, Abah sediakan kamar untuk mereka menginap di sini….”
“Lalu mengapa sekarang tinggal puing, Abah?” sela Rahman. Muna menarik tangan kakaknya, memberi isyarat agar dia bersabar mendengarkan cerita abah.
“Lalu … tiba-tiba saja orang kampung seberang datang bersama beberapa orang polisi merobohkan surau kita. Mereka bilang surau kita dijadikan markas teroris. Entahlah, fitnah keji itu datang dari mana, Abah tidak tahu. Yang Abah tahu, apa yang selama ini temanmu lakukan itu hanya berdakwah. Amar ma’ruf nahy munkar. Mengajak kepada kebaikan, mencegah kepada maksiyat, mengajak menjauhi bid’ah, tahayul dan khurafat,” sambung abah lagi.
“Ada yang merasa terganggu dengan kegiatan kami, Kak. Yang pasti, sejak kajian dihidupkan, jumlah pemabuk dan pezina di kampung ini menurun drastis. Kami bersyukur, tapi rupanya ada ujian yang lain. Rupanya masih banyak yang merasa terganggu dengan kegiatan kami. Mereka memanfaatkan isu terorisme untuk memfitnah kami. Kebetulan, salah satu teman Mas Umar jebolan Pondok Pesantren Ngruki, milik Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Sudah menjadi rahasia umum kalau beliau dan wajihah yang dipegangnya didiskreditkan dan dianggap ada hubungannya dengan kegiatan terorisme. Jadilah mereka disangkut-pautkan dengannya. Apalagi penampilan Mas Umar dan teman-temannya kayak Kak Aman,” kata Muna menambahkan.
“Maksudmu?” tanya Rahman heran.
“Bercambang, berkumis dan berjenggot, celananya cingkrang kayak tukang sate madura,” jawab Muna lagi.
“Ini sunnah nabi lho. Eh, kelanjutannya bagaimana?”
“Saat rame-rame ada isu teroris masuk ke kampung kita, delapan bulan lalu, surau kita didatangi polisi. Mereka diikuti oleh tukang pukul-tukang pukul pemilik pabrik miras, pemilik lokalisasi dan juga orang-orang yang suka nyambi jadi dukun atau paranormal. Warga sekitar tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah, mereka takut dianggap melindungi teroris. Rumah kita pun sebagian ikut dirobohkan. Umar dan teman-temannya ikut dibawa ke kantor polisi ….”
“Jadi Umar dan teman-temannya …?”
“Satu minggu kemudian, mereka dilepas, karena tidak terbukti menjadi anggota jaringan teroris. Tapi surau ini sudah tinggal puing. Rumah kita pun sebagian ikut hancur …,” jelas umi dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah, Mi. Ini sudah digariskan Allah,” sela abah. Kemudian beliau melanjutkan ceritanya, “mereka datang ke sini meminta maaf. Mereka menawarkan untuk memperbaiki surau dan rumah kita.”
“Abah menyetujuinya?” tanya Rahman.
Abah menggeleng pelan, “Abah tak sampai hati. Bukan salah mereka. Mereka pun mengumpulkan warga untuk bergotong royong memperbaiki rumah kita hingga jadi seperti ini. Tapi Abah melarang mereka mendirikan surau itu kembali.”
“Mengapa, Abah? Rahman tidak mengerti ….”
“Itu tugasmu, Rahman. Kau yang harus mendirikannya dan menghidupkannya lagi. Abah yakin, kamu bisa. Dengan ilmu pengetahuan yang kaumiliki, kamu pasti bisa. Kami semua akan membantumu.”
Abah bangkit dari tempat duduknya, menatap lekat bola mata Rahman dan menepuk-nepuk pundaknya. Ada banyak harapan di sana. Harapan yang disusunnya selama lima tahun ini, dengan menepiskan segala kerinduan yang terkurung rapat di relung hatinya. Rindu dan harapan akan masa depan anak keturunannya kelak.
***
“Assalamu’alaikum ….”
Rahman menoleh ke arah pintu. Terlihat lima orang pemuda berdiri di sana dengan santun. Satu yang dikenalinya adalah Umar, sahabatnya semasa SMA.
“Wa’alaikum salam, kau … Umar?” tanya Rahman ingin memastikan.
“Rahman! Kau sudah kembali?” Umar menghambur memeluk sahabatnya. Kedua sahabat itu saling memeluk erat dan menumpahkan rindu.
“Jazakumullah khoiron katsiro sobat, kau telah menjaga keluargaku selama aku tak ada,” bisik Rahman di telinga Umar.
“Syukron billah, mereka sudah seperti keluargaku sendiri, Man.”
Umar melepaskan pelukannya kemudian memperkenalkan teman-temannya satu per satu, “oh ya, kenalkan, Man. Ini Musa, Ismail, Ahmeed dan Udin. Kita siap membantumu menyelesaikan tugas.”
“Tugas? Tugas apa?” Rahman mengerutkan kening, tidak mengerti.
“Tugas dari abahmu. Tugas untuk mendirikan dan menghidupkan surau ini lagi.”
“Kamu tahu?”
“Kan, Abah yang bilang tadi …,” jawab Umar santai.
“Kau tidak takut kejadian yang lalu terulang lagi?” tantang Rahman.
“Justru itu, kami ingin membuktikan pada semua bahwa kami da’i bukan teroris,” jawab Umar dan teman-temannya mantap.
Suasana mendadak hening, semua larut dengan perasaannya masing-masing. Sejurus kemudian ….
“Baik, kita buktikan pada semua, kita adalah da’i bukan teroris, kita membangun kebaikan bukan merusak tatanan kehidupan,” jawab Rahman kemudian.
“Allahu akbar, Rahman …, ini baru anak Abah dan Umi,” sambut Abah dan Umi gembira, “mudahkanlah kami, ya Allah. Aamiin.” []
#Demak, 24062015