“Baru main sebentar udah nangis, kamu ini apa-apa nangis, kalau ada temen galak itu ya lawan, temen mukul pukul lagi, temen nendang balas tendang”, cerocos ibu muda memarahi anaknya yang nangis di lapangan.
“Aa, kok sama adik sendiri aja kalah, nggak boleh nangis lelaki mah, lawan atuh si adik teh, jangan mau kalah”, tukas nenek kepada cucu lelakinya.
Begitulah kejadian sehari-hari yang sering saya lihat dilingkungan. Ibu, Nenek, Ayah, kakek atau siapapun orang dewasa di sekitar anak memberikan masukan kepada anak mereka yang berkonflik. Niatnya agar anak tidak cengeng, jadi anak pemberani katanya.
“Ummi, itu teteh nya”, lapor Iona saat merasa tidak nyaman karena kepalanya dipegang teteh.
“Bicara saja ke Teteh ya Iona”, tukas saya.
“Aku tidak nyaman, teteh”, serunya.
Saat di sekolah ada konflik, guru akan membantu anak menyelesaikan masalah mereka. Satu-satu anak ditanya, apa yang terjadi, bagaimana kejadian awalnya, apa yang dirasakan satu anak, apa yang dirasakan anak yang lainnya. Guru memberikan pijakan agar bicara jika merasa tidak nyaman. Aku sakit, aku tidak nyaman. Jika teman masih belum mendengar, guru akan bicara, abaikan saja temannya. Jika teman masih begitu, guru menguatkan tinggalkan saja, yang kita tidak suka adalah sikapnya. Orangnya tetap kita sayang.
Pijakan untuk sayang teman, sayang saudara, terus disampaikan. Kami berharap mereka akan menjadi agen perdamaian, tidak selamanya konflik diselesaikan dengan saling baku hantam.
Jika Orangtua, Guru terus menjejali anak untuk melawan, lawan, jangan mau kalah, maka Guru dan Orangtua yang demikian sesungguhnya tidak tahu lagi cara apa yang harus digunakan. Mereka sedang mendidik anaknya untuk memakai otak reptil nya. Lari atau lawan. Bukan berarti otak reptil tidak boleh digunakan, saat kita diserang ular berbisa, ya harus lari atau kalau berani habisi ularnya.
Tapi kalau ini yang digunakan saat ada konflik dengan manusia maka akan kacau balau dunia ini. Padahal UUD menyatakan kita bangsa Indonesia ikut dalam menciptakan perdamaian Dunia.
Saat anak konflik, dia harus pakai fungsi eksekutif otaknya. Butuh kerja keras memang untuk bangun executive function ini. Perlu dilatih sejak dini. Kalau nggak terbangun fungsi eksekutif nya, jadi apa pun dia kelak, hidupnya bermasalah walau IPK nya Summa Cumlaude.
Harapan kita, sejak dini anak dibangun bagaimana menyesuaikan masalah dengan benar, saling menyayangi antar sesama manusia, bukan saling hantam, sikut kanan kiri untuk sebuah jabatan. Semoga kelak anak kita menjadi Civilize Citizen, anak yang bermanfaat untuk banyak orang, menjadi pribadi yang menyenangkan dimana pun dan kapan pun.
Semoga mereka bisa meneladani Rasulullah SAW, dicaci, dimaki, diancam dibunuh, dihina Yahudi Buta, beliau tak membalasnya, malah memberikan makan dan menyuapinya. []