Oleh: Abdillah Mushthafa
(Pengurus MDTA Al-Falah Jatiluhur, Purwakarta)
FILM legendaris Titanic yang sudah berusia 24 tahunan masih melekat di benak orang-orang yang pernah menonton atau setidaknya mendengar ceritanya.
Majalah yang saat itu menampilkan spesifikasi kapal Titanic, Ship Builders, menuliskan bahwa kapal itu adalah puncak teknologi dan diyakini hampir tidak mungkin tenggelam.
Diceritakan, kapten dan awak kapal itu pun percaya bahwa Titanic akan baik-baik saja. Tak dinyana, sampai akhirnya menghantam gunung es, kesadaran mereka baru hadir. Bahwa mereka terlambat membelokkan kapal itu.
BACA JUGA: Inilah Wanita Muslim yang Selamat dari Kecelakaan Kapal Titanic pada 1912
Selepas itulah, sang kapten baru mengakui bahwa “Kita akan tenggelam”. Tindakan apa pun tidak akan mampu membuat kapal dengan isinya selamat.
Tragedi itu mirip dengan hidup kita. Cara berpikir dan tindakan kita dalam menghadapi hidup.
Masing-masing dari kita memiliki system auto-pilot. Kita mengenalnya sebagai ‘kebiasaan’. Sebagian dari kita percaya dan menjadikan kebiasaan itu menuntun diri dalam kehidupan.
Kita mengenal istilah alam sadar dan bawah sadar.
Kalau melihat Titanic, hubungan antara kapten dan kapalnya, kapten adalah alam ‘sadar’ dan kapal adalah alam ‘bawah sadar’.
Kapal adalah alam bawah sadar kita, dia penuh dengan sumber daya, program-program dan pengaturan yang telah menjadi ‘bangunan’.
Kapten adalah alam sadar kita, dalam perannya dia adalah yang mengendalikan kapal, memberikan instruksi atau bahkan menyetel sistem otomatis pada kapal. Kapal dapat bergerak otomatis dengan setting-an sang kapten ke sebuah tujuan.
Karena sudah mendapat pengaturan untuk ‘lurus terus’, kapal yang “biasa lurus” tanpa disadari sang kapten dalam waktu lama menghantam gunung es juga.
Sebagai makhluk kebiasaan, kita melakukan apa yang sudah kita percaya atau yakini benar, baik atau bagus.
Kita melakukan apa yang sudah biasa dilakukan. Kita memikirkan apa yang biasa kita pikirkan. Kita melakukan apa yang sudah kita kuasai atau ketahui.
Kiranya tidak ada yang salah dengan hal tersebut, tapi bagaimana kalau hasilnya ternyata menjadi masalah, kebiasaan kita malah memberikan hasil yang tidak kita inginkan?
BACA JUGA: Kisah Lelaki Tua, Palu Kecil, dan Kapal Besar
Meskipun sudah menetapkan tujuan atau niat, ternyata sang kapal yang sudah otomatis berjalan malah menabrak gunung atau batu karang.
Di sinilah peran sang kapten atau alam sadar ditanyakan. Kemana saja sang kapten itu?
Kita semua adalah ‘Kapal’ di lautan atau kehidupan ini. Kita juga adalah kaptennya.
Tidak sedikit dari kita yang membiarkan kapalnya terus berjalan sendiri, menuju suatu tujuan. Sementara sang kapten asyik bersantai Bersama awak kapal yang lain atau bahkan tertidur.
Tahu-tahu sudah menabrak gunung es, sang kapten baru bangun.
Contoh kecil dalam kehidupan kita, suatu waktu seharusnya kita melakukan hal ini, nyatanya kita malah melakukan hal itu. Kita seharusnya masuk ke ruangan ini, nyatanya masuk ke ruangan itu.
Bukan karena lupa atau pikun, kita melakukan semua itu karena ada ‘kebiasaan’ lain yang “dianggap” benar, baik atau bagus. []