Begitu putri Bapak menjadi istri saya, maka segala hal yang selama ini menjadi tanggungjawab Bapak, semuanya beralih kepada saya.”
“Jawabnya ada di ujung langit… Kita ke sana dengan seorang anak… Anak yang tangkas, dan juga pemberani…”
Saya ajukan original soundtrack animasi legendaris ini sebagai alternatif jawaban, barangkali masih ada yang akan ditanya kapan ijab-qabulnya saat Syawalan pekan-pekan ini.
Jawaban ini sesuai hakikat. Dan pernikahan memang memerlukan ketangkasan dan keberanian, sebab ia sungguh berat.
Saking beratnya hal ijab-qabul ini, Allah sampai menyebutnya ‘mitsaqan ghalizha’; perjanjian berat, perjanjian kokoh yang membelit dan mengikat.
Istilah ‘mitsaqan galizha’ ini hanya muncul 3 kali di dalam Kitab Suci. Pertama, untuk menyebut perjanjian antara Allah dan para Rasul Ulul ‘Azmi agar mereka teguh istiqamah menyampaikan risalah. Kedua, untuk menyebut perjanjian Allah dengan Bani Israil, hingga Allah mengangkat Thursina ke atas kepala mereka. Ketiga, untuk menyebut pernikahan, akad menghalalkan sesuatu yang amat suci dengan namaNya.
Siang itu seusai Shalat Jumat, 20 Agustus 2004, Bapak seorang gadis mendekati calon menantunya dan bicara setengah berbisik.
“Ini selanjutnya bagaimana Nak?”
“Selanjutnya bagaimana maksud Bapak?”, tanya si pemuda polos.
“Nah, kalian berdua kan masih sama-sama kuliah. Soal biaya dan keperluan hidup nanti apakah..”
“Bapak mohon tenang”, potong si pemuda. “Pernikahan adalah pengalihan tanggungjawab. Dari Ayah kepada suami. Begitu putri Bapak menjadi istri saya, maka segala hal yang selama ini menjadi tanggungjawab Bapak, semuanya beralih kepada saya.”
“Bagus Nak”, senyum si Bapak lebar sekali.
Tetiba telepon genggam si pemuda bergetar. Rupanya ada yang diam-diam tahu pembicaraan ini dan segera mengirim pesan. Isinya ringkas dan jelas.
“FYI: SPP saya satu semester 4 kali lipat SPP panjenengan.” Pengirimnya juga jelas: Calon Istri.
Tiba-tiba semua kepercayaan diri saat menjawab pertanyaan calon mertua tadi runtuh. Bersama itu, bulir-bulir buram sebesar jagung mulai meleleh dari kepala, dahi, pipi, dan terjadi banjir keringat dingin di punggungnya.
“Kalau SPP-nya saja 4 kali lipat, konsumsi primer, sekunder, sampai tersiernya soal kosmetik dan lainnya berapa kali lipat?”
Horor! Bagaimana bisa ini tak terpikir sebelumnya?
Maka menjelang akad nikah itu putaran bumi pada porosnya seakan terasa dan matahari bersembunyi di balik retina. Pusing. Gelap. Tapi di depan sana petugas KUA sudah selesai meneliti berkas, memberi mukadimah, dan calon mertua sudah mulai mengulurkan tangan. Sejenak dia ragu menyambut salaman, sebab telapak Bapak itu seakan adalah pukulan seribu bayangan.
Tapi dia menguatkan diri dengan berusaha menghadapkan hati pada Ilahi. Dan memejamkan mata.
Dia ingat betul, para kekasih Allah juga memejamkan mata ketika perintah Allah terasa berat bagi mereka. Ibrahim ‘Alaihissalam misalnya, ketika diperintahkan menyembelih putra tercinta, dia memejamkan mata sebagai tanda berserah diri pada Allah, berprasangka baik padaNya, dan tetap berjuang untuk taat meski terasa berat.
Maka diapun memejamkan mata sembari berharap akan ada keajaiban ketika nanti semua selesai. Tentu saja dia berharap keajaibannya tak persis sama dengan yang terjadi pada Ibrahim. Mempelai diganti kambing itu tidak lucu.
“Ya Allah, inilah aku hambaMu berusaha mentaatiMu dan mengikuti sunnah RasulMu, maka tolonglah dia mengatasi segala kelemahannya.”
Dan benar, ketika dia membuka mata, hujan mulai turun, rintik gerimis rinai-rinai syahdu.
Maka puisi hati berikutnya tertutur ketika pertama kali tangannya dicium sang istri dan hidungnya disentuhkan ke ubun-ubun berkerudung putih itu. “Betapa sedihnya, langit yang kehilangan sesosok bidadari. Ia titikkan airmata, karena yang tercantik turun ke bumi. Inilah dia si jelita, mendampingiku di sisi.” []
DICLAIMER:Â Tulisan Salim A Fillah di dan untuk Islampos berdasarkan lisensi atau izin dari beliau langsung. Bukan asal salin-tempel (copy-paste).