Oleh: Newisha Alifa
newishaalifa@gmail.com
JAWABANNYA satu: pilihan kita sendiri. Mana kebenaran yang harus dibela, dan atau mana keburukan yang harus dijauhi bahkan ditentang.
Sebagian dari kita, pasti pernah ada di posisi dilematis. Ketika dua teman baik kita saling bertentangan bermusuhan. Dua-duanya baik. Mereka berdua yang berselisih paham, dan kita ada di tengah-tengah mereka. Lantas, bagaimana bisa kita menyikapinya?
BACA JUGA: Barisan Mukmin atau Barisan Munafik
Pertama, lakukan itu karena kita jauh dari sifat munafik.
Jangan sampai di depan si A, kita menjelek-jelekkan si C. Dan saat bersama si C, kita ngomong yang enggak-enggak tentang si A.
Kita tahu betul menengah sedang, sebagai teman yang baik, harusnya kita menengahi. Bukan malah jadi kompor meledug! Atau malah mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.
Kedua, tabayyun dulu. Cari tahu kebenarannya. Enggak mungkin ada sesegera mungkin jika enggak ada api. Boleh jadi di antara kedua pihak, memang salah satunya yang benar, dan satunya lagi salah. Dan Allah menempatkan kita pada posisi di tengah-tengah, ya tugas kita berarti harus menengahi. Jeliatasi, di mana kebenaran bergantung. Atau siapa sebenarnya yang salah?
Pada pesta yang salah, kita harus meminta kesalahan apa pun dengan baik-baik, bukan menghakimi. Tapi ingat resikonya, kita bisa dimusuhin sama teman ini — kalau dia tetep enggak terima atau belum mengerti kesalahannya.
Sementara, terhadap posisi yang benar, kita ingatkan untuk memaafkan. Jangan larut dalam benci atau dendam. Kita tahu dia benar, bukan untuk ngomporin atau membuatnya besar kepala. Tetap harus ada niat untuk mendamaikan kedua teman tersebut.
Gimana jika salah satu sama-sama benar atau sama-sama salah?
Nah, di sinilah sebaiknya kita memilih netral saja. Tetap menjalin hubungan baik dengan interaksi.
‘Apa nggak munafik tuh? Kanan kiri oke? ‘
Ya kagaklah.
Munafik itu, kalau ke sana sini, kita menyulut api permusuhan. Kalau selama bergaul atau ngobrol sama si, kita tidak menjelek-jelekkan si C, sulit menyebut-nyebut kebaikannya, pun sebaliknya, ya di mana letak salahnya?
Ketiga, jangan berpihak atau mendadak karena kepentingan pribadi. Jangan membohongi diri sendiri. Tetaplah berpihak pada kebenaran, bagaimanapun konsekuensinya akan menyusahkan kita.
BACA JUGA: Munafik Lebih Bahaya daripada Kafir
Orang munafik berbahaya. Lebih berbahaya daripada orang lain nyata kekafirannya. Makanya nggak heran kalau siksaan untuk orang munafik kelak di akhirat, ingat sekali.
“Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) di atas yang paling bawah dari pembicaraan. Dan kamu tidak akan mendapat penolong pun untuk mereka,” (QS. An-Nisa ‘: Ayat 145).
Coba cek ke dalam diri masing-masing. Jangan-jangan sikap munafik itu ada dalam diri kita?
Pake ameliorasi, bertindak netral. Padahal sejatinya kita bermuka dua. Na’udzubillahimindzalik.
Ciri-ciri orang munafik yang saya dapatkan dari kecil adalah:
1. Jika mengatakan dia bohong
2. Jika dia berjanji dusta
3. Jika diberi kepercayaan, dia khianat
Semoga kita dimantapkan kebebasan untuk berpihak pada kebenaran. Karena sungguh, menjadi orang hipokrit atau bermuka dua itu adalah perbuatan tercela. Sifat ini dekat dengan perilaku buruk lainnya seperti mengadu domba orang lain yang berarti bisa menghancurkan hubungan pertemanan bahkan persaudaraan. Wallahu A’lam Bisshowab. []