I’tikaf atau berdiam diri dalam rangka beribadah di masjid adalah salah satu anjuran di bulan Ramadhan. Terlebih di sepuluh hari yang terakhir, ia menjadi amalan yang cukup tepat untuk meraih keutamaan malam lailatul qadar.
Agar tidak menyimpang dari petunjuk Nabi sallallahu’alihi wa sallam, dalam melaksanakan i’tikaf, sudah seharunya kita memahami bagaimana tata cara atau fikih seputar I’tikaf.
Di antara tema yang penting untuk dipahami adalah tentang kapan seharusnya kita mulai masuk masjib untuk beri‘tikaf dan kapan waktu seharusnya i’tikaf itu bisa diselesaikan.
Terkait masuknya orang yang akan beri’tikaf, mayoritas ulama—Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad—berpendapat bahwa bagi orang yang ingin beri’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadan, maka dia masuk sebelum matahari terbenam di malam dua puluh satu. Mereka berdalil akan hal itu dengan beberapa dalil, diantaranya:
Pertama: Telah ada ketetapan bahwa Nabi sallallahu’alihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh malam akhir Ramadan. Artinya, beliau beri’tikaf pada malam bukan pada siangnya. Karena sepuluh dibedakan pada malamnya. Allah ta’ala berfirman, “Dan demi malam sepuluh.” (QS. Al-Farj: 2) Dan sepuluh malam akhir dimulai pada malam kedua puluh satu. Dengan demikian, maka dia masuk ke masjid sebelum matahari terbenam malam keduapuluh satu.
Kedua: Mereka mengatakan, “Sesungguhnya diantara maksud terbesar dari I’tikaf adalah menggapai malam lailtul qadar, dan malam duapuluh satu termasuk malam ganjil pada sepuluh malam akhir. Jadi ada kemungkinan termasuk lailatul qadar. Maka seyogyanya ketika itu seseorang dalam kondisi beri’tikaf di dalamnya.” (Keterangan ini dikatakan oleh As-Sindy di Hasyiyah An-Nasa’I dan lihat juga dalam Al-Mughni, 4/489)
Akan tetapi dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2041 dan Muslim, no. 173 dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
“Dahulu Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam ketika ingin beri’tikaf, shalat fajar kemudian memasuki tempat i’tikafnya.”
Sebagian ulama salaf berpendapat dari sisi zahir hadits ini. Bahwa dia masuk tempat i’tikafnya setelah shalat fajar. Pendapat ini dipakai oleh para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/411 dan Syekh Ibnu Baz, 15/442.
Namun dalam ‘Fatawa As-Siyam hal, 501, Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Mayoritas ahli ilmu berpendapat bahwa mulai i’tikaf sejak malam keduapuluh satu, bukan dari fajar keduapuluh satu. Meskipun sebagian ulama berpendapat, bahwa mulai i’tikaf dari fajar keduapuluh satu. Berdasarkan dalil hadits Aisyah radhiallahu’anha di Bukhari, “Ketika (Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam) shalat subuh, beliau masuk ke tempat i’tikafnya”. Akan tetapi Jumhur menjawabnya bahwa hal itu adalah saat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menyendiri dari orang-orang adalah sejak pagi. Sementara niat i’tikafnya dari awal malam. Karena sepuluh malam akhir itu dimulai sejak terbenamnya matahari di hari keduapuluh.”
Beliau juga mengatakan di hal, 503, “Orang yang beri’tikaf masuk di sepuluh malam akhir ketika terbenam matahari dari malam keduapuluh satu. Hal itu karena telah memasuki waktu sepuluh akhir. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Aisyah radhiallahu ’anha karena teksnya berbeda. Maka diambil yang lebih dekat dari sisi petunjuk (madlul) bahasa. Yaitu hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radhiiallahu anha, dia berkata, “Dahulu Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf pada setiap Ramadan. Ketika shalat subuh, beliau masuk ke tempat beliau beri’tikaf.” (HR. Bukhari)
Perkataan ‘Ketika shalat subuh, beliau masuk ke tempat beliau beri’tikaf.” Hal ini mengandung pemahaan bahwa beliau lebih dahulu berdiam, sebelum masuk ke dalamnya. Maksudnya berdiam di masjid lebih dahulu daripada masuk ke tempat I’tikafnya. Karena perkataan ‘I’takafa’ adalah fiil madhi (kata kerja masa lampau). Maka asalnya (sebuah kata) digunakan sesuai hakekatnya.”
Adapun masalah kapan selesainya, maka i’tikaf selesai ketika matahari terbenam di akhir hari bulan Ramadan. Syekh Ibnu Utsaimin ditanya, ‘Kapan orang beri’tikaf keluar dari I’tikafnya? Apakah keluar setelah terbenam matahari di malam hari raya atau setelah fajar hari raya?
Maka beliau menjawabnya, “Orang beri’tikaf keluar dari i’tikafnya ketika Ramadan selesai. Dan selesainya bulan Ramadan sejak matahari terbenam di malam hari raya.” (Fatawa As-Siyam, hal. 502)
Terdapat dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/411: “Waktu I’tikaf sepuluh Ramadan selesai dengan terbenamnya matahari di akhir hari Ramadan.”
Kalau dia memilih tetap di tepatnya sampai shalat fajar dan keluar dari tempat i’tikafnya menuju shalat Ied juga tidak mengapa. Sebagian ulama salaf menganjurkan hal itu. Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Bahwa beliau melihat sebagian ahli ilmu, ketika mereka beri’tikaf pada sepuluh malam akhir Ramadan. Mereka tidak pulang ke keluarganya. Malik mengatakan, “Hal itu disampaikan kepadaku dari orang baik yang telah melakukannya. Hal ini lebih aku sukai dari apa yang aku dengar. Agar mereka dapat menyaksikan hari raya Idul Fitri bersama masyarakat.
Dalam kitab Al-Majmu’, 6/323 Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Syafi’i dan pengikutnya mengatakan, ‘Bagi orang yang ingin mencontoh Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam beri’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadan, hendaknya dia masuk masjid sebelum matahari terbenam malam keduapuluh satu, agar tidak terlewatkan sedikitpun. Dan keluar setelah matahari terbenam di malam hari raya.
Baik bulan sempurna atau kurang. Yang lebih utama adalah berdiam diri malam hari raya di dalam masjid sampai melaksanakan shalat Id, atau keluar ke musholla tempat shalat Id, jika mereka shalat di lapangan shalat id. Kalau dia keluar dari i’tikaf langsung ke shalat Id, maka dianjurkan mandi dan berhias sebelum keluar. Karena hal ini termasuk sunah dalam hari raya.” Wallahu a’lam bis shawab!
Sumber: islamqa.info