“Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” Itulah sepenggal kalimat yang selalu diucapkan Rasulullah saw. saat berjumpa dengan ‘Abdullah Bin Ummi Maktum. Ya, wajar bila kalimat itu sering dilontarkan oleh Rasulullah saw. kepada sahabat yang buta itu, sebagai pernghormatan terhadapnya. Memang karena Ibnu Ummi Maktum itulah Rasulullah saw. ditegur Allah swt.
Kisahnya begini. Rasulullah saw. sedang serius mengajak para pembesar Quraisy untuk masuk Islam. Mereka yang saat itu sedang dihadapi oleh Rasulullah saw. antara lain ‘Utbah, Syaibah, Abu Jahal alias Amer Bin Hisyam, Umayyah Bin Khalaf, Walid Bin Mughirah, dan Al-‘Abbas Bin Abdil Muthallib, paman Rasulullah saw. Kesemuanya adalah pemegang kebijakan pada kalangan masyarakat Quraisy. Jadi bisa dibayangkan bila mereka itu masuk Islam, akan mudah saja bagi para pengikutnya untuk memeluk Islam. Dan itu pula yang dibayangkan Rasulullah saw.
BACA JUGA: Marah saat Berpuasa, Wanita Ini Dinasihati Nabi
Di saat itulah datang Adullah Bin Ummi Maktum. “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu,” pintanya kepada Rasulullah saw. yang tengah asyik menyeru para tokoh tadi untuk masuk Islam. Sejenak pandangan Rasulullah saw. berailh kepada orang buta yang datang itu. Namun segera saja beliau memalingkan muka dan kembali menghadapi para dedengkot Quraisy itu.
Ibnu Ummi Maktum tidak berputus asa. Dia masih mencoba meminta untuk yang kedua kalinya. Namun Rasulullah saw. mensikapinya dengan sikap yang sama. Dan untuk ketiga kalinya. Hingga Allah swt. menurunkan ayat sebagai teguran kepada Rasulullah saw. Firman-Nya:“Ia bermuka masa dan berpaling. Karena telah datang kepadanya orang yang buta.” ) (‘Abasa 1-2)
Rasulullah saw. menyadari kekeliruan dan kesalahan sikapnya. Sejak itulah Rasulullah saw. begitu memuliakan dan melayani kebutuhan Ibnu Ummi Maktum. Dan beliau sering mengulang kalimat di atas bila berjumpa dengannya.
Ayat itu masih dilanjutkan: “Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya. Ada pun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri. Dan ada pun orang yang datang kepadamu dengan bersegara (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang ia takut kepada Allah. maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali janganlah demikian! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.” (‘Abasa 3-11)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Saat itu Rasulullah saw. ingin Ibnu Ummi Maktum itu diam agar memberinya waktu berbicara kepada orang-orang itu sebab Rasulullah sangat berambisi menariknya ke dalam Islam.” Ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. kepada Ibnu Ummi Maktuk memiliki tujuan yang baik, untuk kepentingan dakwah dan bukan kepentingan dirinya sendiri. Namun tetap saja cara itu dianggap keliru oleh Allah swt. sehingga Dia berkenan menegur Nabi-Nya.
Di mana letak ketidaktepatan sikap yang diambil Rasulullah saw.? Dalam Fi Zhilalil-Quran, Ust. Sayyid Quthb mengemukakan, “Inti persoalannya bukanlah sekedar bagaimana seharusnya seorang manusia diperlakukan atau bagaimana seharusnya sekelompok manusia diperlakukan. Dimensinya lebih jauh dan lebih agung dari sekedar itu. Inti persoalannya adalah: bagaimana seharusnya manusia menimbang segala urusan dalam kehidupan ini? Dari mana manusia mengambil nilai-nilai untuk dijadikan parameter?
BACA JUGA: Sambutan bagi Nabi ketika Tiba di Kota Madinah
Dan arahan rabbani dalam ayat itu menegaskan bahwa hendaknya manusia di muka bumi mengambil nilai-nilai dan parameter dari pandangan Allah saja, yang datang kepada mereka dari langit, tidak terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan rendahan bumi. Nilai-nilai yang bukan muncul dari pandangan-pandangan yang terikat dengan kepentingan bumi.”
Pada bagian lain, setelah mengutip firman Allah swt. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa”, Sayyid Quthb menyatakan, “Yang paling mulia di sisi Allah itulah yang berhak mendapatkan perhatian dan sambutan, meskipun ia kosong dari segala nilai-nilai duniawi yang dikenal manusia semacam keuturunan, kekuasaan, dan harta, serta nilai duniawi lainnya.” (Fi Zhilalil-Quran juz 6 3825).