Oleh: Widianingsih, M.Ag
Pemilik Sekolah Sentra Bukit Pelangi, Jatinangor
“AYO sana masuk, tuh temen–temen udah masuk,” ucap seorang mama pada anaknya.
“Gak mau ah, mau sama mama,” jawab anaknya.
“Simpen sepatunya, ayo mama anter ke dalam,” tukas mama, seraya menarik tangan mungil anaknya masuk ke dalam ruang kelas.
“Simpen tasnya, kok malah digendong terus,” perintah mama kemudian ketika sang anak tidak member reaksi yang diharapkannya.
Anaknya menyimpan tas di kursi.
“Duduk sana,” seru mama.
Setelah anak duduk mama berkata, “Mama pulang, nanti dijemput,” seraya berlalu menuju pintu.
Kata seru atau kata perintah memang selalu terlontar di setiap tempat. Sekolah, rumah, supermarket, restauran atau tempat-tempat lain. Ambil, simpan, buang, angkat, dan banyak lagi kata perintah lain keluar dari mulut orang dewasa.
Seorang guru TK berkata kepada muridnya yang melempar plastik pembungkus makanan, “Buang sampahnya di sana”, sambil menunjuk ke arah tempat sampah.
Saat bel berbunyi ibu guru berteriak” beri salam”. Lalu semua murid mengucap salam dengan berteriak pula.
“Ambil bukunya di loker, sekarang kita akan mewarnai,” tukasnya kemudian.
Saat tiba waktu snack, ibu guru kembali berkata “Cuci tangannya di toilet, baca do’a masuk WC.” Perintah demi perintah diucapkan oleh guru hingga bel tanda sekolah berakhir dibunyikan.
Ketika yang keluar adalah perintah atau suruhan, artinya orang dewasa di sekitar anak seolah-olah Bos. Dalam benak bos tersimpan rumus, yang memerintah adalah atasan, yang diperintah adalah bawahan.
Wahai para orangtua juga guru, ingatlah bahwa anak kita bukanlah bawahan kita di rumah. Murid kita bukanlah bawahan kita di sekolah. Ketika kita menyuruh anak, artinya kita meminjam tangan anak untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Orang tua dan guru yang bijak akan senantiasa menghindari perintah ketika berkomunikasi dengan anak-anak. Idealnya, ketika kita berharap anak menyimpan sepatu di rak sepatu, maka orang dewasa menjadi modelnya, lalu berkata, “Mama menyimpan sepatu di rak sepatu, papa juga menyimpan sepatu di rak sepatu, bagaimana denganmu? Sepatunya mau disimpan dimana?”, anak akan melihat lalu berpikir kemudian bergerak menyimpan sepatu nya di rak sepatu.
Begitupun di sekolah ketika guru mengharap anak menyimpan sampah pada tempatnya, maka guru menjadi modelnya terlebih dahulu. Guru menyimpan sampah pada tempatnya, lalu berbicara, “Ibu menyimpan sampah di tempat sampah. Semua ada tempatnya. Kamu mau menyimpan sampah di tempat yang mana? Tempat sampah yang di dalam atau tempat sampah yang di halaman?”, anak melihat lalu berpikir kemudian bergerak menyimpan sampah di tempat yang dipilihnya.
Pendidikan yang bermutu, memberikan stimulus kepada anak untuk berpikir sebelum berbicara, berpikir sebelum bertindak.
Anak yang terbiasa disuruh sejak kecil akan kehilangan inisiatif saat dia dewasa, mungkin akan selalu menjadi follower, bukan leader yang penuh ide. Layaknya sebuah robot akan bergerak jika diperintah dan tentu tidak bergerak jika tombol perintah tidak di pijit. Tanpa melihat sekeliling, tanpa berpikir, tanpa peduli dengan segala yang terjadi, jika tak ada perintah maka semua bisa diabaikan. Tentu anak kita bukan robot. []