Oleh: Eva Fatmah Hasan
SIANG itu, tak seperti kebanyakan wanita zaman sekarang yang dengan mudahnya berinteraksi dengan laki-laki tanpa ikatan, ucha lebih memilih untuk duduk dibawah pohon sambil membaca buku. Dakwah Islam, itu buku favorit yang selalu ikut mengisi waktunya ditengah-tengah kosongnya jadwal kuliah.
Ucha memang berbeda, di tengah maraknya gaya hedonisme, pergaulan bebas, di mana kata “halal” atau
“haram” tak lagi penting, dimana “dosa” dan “pahala” hanya tinggal kata-kata tanpa makna, namu ucha tetap memilih kokoh dengan prinsipnya.
Tak ada hubungan special sebelum ada pernihakan. Ucha yakin, tak ada hubungan antara laki-laki dan perempuan yang benar-benar tulus. Pada akhirnya aka nada perasaan yang berbeda dan itu yang selalu dijaganya.
BACA JUGA: Trik-trik Dakwah dan Bermuamalah di Masyarakat
“Hey cha, sendirian aja?” sapa dini mengagetkan ucha.
“Iya nih, tanggung bacanya. Dikit lagi selesai,” jawab ucha sambil merubah posisi duduknya yang kini menghadap Dini. Rasanya tak enak bila berbicara tapi tak melihat orangnya. Kesannya tak sopan.
“Kamu nggak ada niat buat .. emm, pacaran? Atau minimal punya teman dekat gitu? Usia kita kan udah nggak labih lagi. Bentar lagi udah tamat, kamu berniat menikahkah?” tanya Dini bertubi-tubi.
“Nggak sih Din. Jodoh kan nggak kemana. Allah pasti mempertemukan kita dengan jodoh kita lewat cara yang paling indah. Bahkan nggak bisa kita bayangkan sebelumnya,” jawab Ucha dengan mantap.
“Tapi cha kalau nggak ada usaha gimana mau dapat??”
“Ukhti Dini, apakah ketika Aisyah menikah dengan rasulullah lantas Aisyah kesana kemari mencari jodohnya? Apakah ia menjalin hubungan sepesial dengan laki-laki lain? Tidak ukhti, yang dilakukan Aisyah hanya memantaskan diri, menjadi wanita sholiha hingga akhirnya Rasulullah melamarnya. Lalu knapa kita tak mengikuti Beliau? Memantaskan diri terlebih dahulu! Ukhti, jodoh tak akan tertukar. Dan jodoh adalah cerminan diri.”
“Jika hari ini kita di sini mencoba-coba menjalin hubungn denga laki-laki, maka kemungkinan besar jodoh kita yang sesungghnya juga melakukan hal yang sama. Memang ukhti mau? Apa ukhti siap bila menikah nanti lalu ukhti tau bahwa jodoh uhkti mungkin sudah berpuluh kali mencoba dekat dengan wanita lain? Apa ukhti siap bila ternya ukhti bukan wanita pertama dalam hidupnya?”
“Atau yang lebih parah lagi, wanita-wanita terdahulu yang sempat mampir dalam hidupnya justru masih meninggalkan kesan medalam dalam hatinya? Ukhti siap untuk itu? Jika siap maka lakukanlah ukhti. Jalinlah hubungan dengan laki-laki lain. Tapi ukhti, ingat, dia juga mungkin sedang melakukan hal sama diluar sana” kata ucha bijak.
Muka Dni mulai memerah. Entah malu atau mungkin saja merenungkan kata demi kata yang baru saja keluar dari lisan Ucha.
“Kamu benar Chaa. Aku tak siap untuk itu,” kata Dini diam-diam membenarkan ucapan Ucha.
Di lain waktu yang begitu terik, Ucha bersusah payah berjalan langkah demi langkah untuk halaqah rutin. Sebagai aktivis dakwah yang sedang berproses untuk maksimal dalam dakwah, Ucha terlihat begitu menikmati setiap langkah dalam kesusahan tersebut. Tak ada raut lelah apalagi menyesal telah menempuh langkah ini. Justru Ucha merasakan cita yang tiada tara di dalamnya.
“Assalamu’alaikum Ukhti. Maaf Ucha terlambat. Tadi sedikit nyasar dulu” ucap Ucha menjelaskan alasan keterlambatannya pada Musyrifahnya.
“Oh iya tidak apa-apa. Silahkan masuk. Belum mulai juga halaqahnya. Ana yang harusnya minta maaf karena memindahkan tempat halaqah secara mendadak. Begini ukhti Ucha, mendadak fauzan sakit. Jadi kasihan jika harus meninggalkan fauzan di rumah. Membawa ke tempat halaqah pun rasanya kurang bijak. Takut Fauzan malah terlalu capek nantinya. Afwan ya ukhti,” jelas Wulan.
“Duhai rabb, inilah cinta yang selama ini selalu kurindukan. Cinta yang semata hanya karenaMu. Bahkan di saat putranya sakit pun, dia tetap memikirkan bagaimana supaya halaqah tetap berjalan tanpa mengabaikan kewajibannya sebagai ibu. Ya rabb, semoga kelak hamba mampu seperti ukhti Wulan yang bisa memanajemen waktunya dengan begitu baik. Tetap maksimal dalam dakwah walau kewajiban rumah tangga mungkin menumpuk,” ucap ucha dalam hati.
BACA JUGA: Amanah dan Dakwah
Beberapa menit selanjutnya halaqah pun dimulai. Ucha dan teman sehalaqah mendengarnya penjelasan sang Musyrifah dengan antusias. Diam-diam Ucha membayangkan bagaimana seandainya nanti ketika dia sudah layak untuk mengisi halqah” aih pasti sangat nikmat saat bisa membagikan ilmu yang tak seberapa ini ke orang lain. Semua karena cinta. Bahkan hari ini aku memilih jalan dakwah pun karena aku mencintai saudariku. Aku mencitaimu saudariku seperti aku mencintai diriku sendiri” lirih Ucha pelan sambil membayangkan wajah-wajah temannya yang akan menjadi target untuk di sentuhnya dengan dakwah nantinya.
Pagi ini Ucha sudah siap dengan semangat dakwah yang luar biasa. Dia tak sabar untuk membagikan ilmu yang tak seberapa itu ke teman-temannya. Ucha tau pasti akan ada abaian atau mungkin cacian yang akan ia terima ketika berdakwah.
Tapi itu tak mampu menyurutkan sedikitpun semangat yang sudah dipupuknya. Bahkan itu ibarat cambukan “Bismillah, ya rabb, luluhkanlah hati mereka sebagaimana dulu Engkau meluluhkan hatiku, mudahkan lisan ini sebagaiman dulu Engkau memudahkan lisan Kak Wulan dalam mendakwahiku” pinta Ucha disertai tetasan air mata.
Tampak begitu tulus doa ucha hingga air mata pun tak segan-segan untuk keluar. Ucha ingat bagaimana dulu ia begitu menentang dakwah bahkan sempat mencaci maki Wulan yang kini jadi musyrifahnya. Tak sekadar jadi musyrifah, tapi jadi salah seorang yang paling dekat dengannya.
“Kak Wulan, doakan Ucha ya. Ucha mau mengikuti jejak kakak dalam berdakwah. Ucha mau seperti kakak. Ucha mau mendapat syurga yang Allah janjinkan, ucha mau duduk di majelis syurga nanti yang diisi langsung oleh Rasulullah,” tulis ucha lalu mengirimnya pada Wulan.
Sekejab kemudian handphone Ucha berbunyi ”Hamasah ya dikku. Dakwah adalah cinta maka sentuhlah mereka dengan penuh cinta. Jangan menggunakan bahasan yang kasar karena ucha dan kakak sendiri pun tersentuh dengan dakwah karena kelembutannya. Insha allah, jauh didepan sana, ada syurga yang sedang menantimu dik. Ada rasulullah yang sedang merindukanmu. Ingatkan dik, Rasulullah pernah bilang bahwa dia merindukan umatnya di akhir zaman yang masih berpegang teguh dengan al_quran di saat banyak yang justru melupakan Al-quran. Itu adalah kita dik. In sha allah, kita akan jadi umat yang dirindukan Rasulullah selama kita istiqomah dalam jalanNya. Hamasah. Allah maha memudahkan” balas Wulan.
“Ah inilah yang membuatku semakin mencintaimu karena Allah kak. Karena kata-kata mu yang begitu lembut dan selalu ada cinta didalamnya.” []