SETIAP tahun diperingati, tapi ada perjalanan dalam sejarah hidupnya yang entah mengapa tidak ada di buku sejarah yang diajarkan ke sekolah-sekolah. Padahal ini merupakan fragmen penting kehidupan Raden Ajeng Kartini, yakni tatkala ia berguru Al-Qur’anul Kariim dan tafsir kepada Kyai Saleh Darat di Semarang.
Bersebab kesulitan waktu untuk belajar secara langsung dan rutin, maka Kartini memohon kepada Kyai Saleh Darat untuk berkenan menerjemahkan kitab tafsir Al-Qur’an. Ini untuk menjembatani sedikitnya kesempatan berguru secara langsung. Inilah awal berkembangnya penerjemahan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa yang pada gilirannya berkembang ke dalam bahasa Indonesia.
KH Muhammad Saleh Darat, seorang ulama asal Semarang, merupakan pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Buku-bukunya sangat populer di zamannya, dan banyak digemari masyarakat awam. Karyanya ditulis dengan huruf Arab gundul (pegong), sehingga tidak dicurigai penjajah.
Alquran pun ia terjemahkan dengan huruf itu. Kitab Faid ar-Rahman merupakan kitab tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Satu eksemplar buku itu dihadiahkannya kepada RA Kartini ketika pahlawan nasional ini menikahi RM Joyodiningrat, bupati Rembang.
Kartini sungguh girang menerima hadiah itu. “Selama ini surat Al Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami,” demikian Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Saleh Darat di pendopo Kesultanan Demak.
Perlu dicatat bahwa Raden Ajeng Kartini tetap berguru langsung kepada Kyai Saleh Darat. Gurunya Kartini dalam bidang tafsir ini juga merupakan guru dari KH. Ahmad Dahlan serta teman sekamarnya: Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Sayangnya, episode kehidupan Kartini yang menunjukkan perhatian besarnya kepada Islam seolah lenyap dari sejarah. []