Oleh: Ratna Dewi Idrus
Penulis Agar Anak Kita seperti Nabi Ismail
JIKALAU anak adalah ukuran kasih sayang Allah pada hamba-Nya, tentulah Nabi Ibrahim dikaruniakan-Nya anak yang banyak karena Nabi Ibrahim adalah hamba kesayangan-Nya, sebagaimana diabadikan-Nya dalam kitab suci-Nya, “Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya,” (QS. An-Nisaa [4]: 125).
Akan tetapi, hamba yang menjadi kesayangan-Nya itu justru tidak dikaruniakan-Nya anak hingga berusia tua. Di detik-detik pengharapan yang sangat itu, dengan doa yang tak putus dan hati yang tulus agar diberikan anak yang saleh, barulah karunia itu diberikan-Nya, yaitu Nabi Ismail, dari hamba sahaya yang dihadiahkan istri tercintanya, Sarah.
Anak bukanlah tanda cinta Allah pada kita, sebagaimana orang-orang jahiliyah di masa Rasulullah beranggapan bahwa anak yang mereka miliki adalah tanda cinta Allah pada mereka.
Hal ini terlukis dalam Al-Qur’an, “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak daripada kamu dan kami sekali-kali tidak akan diazab.” (QS. Saba [34]: 35).
Allah mengutus Rasulullah untuk mengubah apa yang menjadi kekeliruan mereka selama ini. Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan membatasi bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Apakah mereka mengira harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu bermakna bahwa Kami bersegera memberi kebaikan pada mereka?” (QS. Al Mukminuun [23]: 55-56)
Anak merupakan bagian dari rezeki yang dikaruniakan Allah kepada kita. Banyak sedikitnya anak yang kita punya bukanlah ukuran besarnya cinta Allah kepada kita. Dia memberikan anak yang banyak kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan tidak memberikan anak kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dia memberikan anak lelaki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan memberikan anak perempuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia memberikan anak lelaki dan perempuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya pun tidak memberikan anak lelaki maupun perempuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui tentang hamba-hamba-Nya.
Baca Juga: Pak, Mohon Izinkan Anak Saya Bolos Sekolah!
Yang mendekatkan kita kepada Allah bukanlah harta dan anak yang banyak, melainkan keimanan dan amal saleh kita. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Allah Ta’ala tidak memandang penampilan dan kekayaanmu, namun Dia memandang kalbu dan amalmu.” (HR. Muslim).
Jadi, janganlah bersedih jika kita tidak diberikan karunia berupa anak karena kita pun bisa mendidik anak-anak lain.
Jika titik penyadaran itu sudah ditanamkan, tentulah kita akan sangat bersyukur ketika dikaruniai anak sebagaimana Nabi Ibrahim AS dan siap jika sewaktu-waktu karunia itu diminta-Nya kembali.
Mensyukuri anugerah anak yang dikaruniakan Allah adalah dengan cara berbuat amal saleh dan berupaya menjadi pendidik yang baik. Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda, dari sepuluh, tujuh ratus, sampai dengan hitungan tak terhingga.
Tugas kita adalah mendidik mereka agar memiliki akidah (keyakinan kepada Allah) yang kuat, beribadah sungguh-sungguh kepada Allah, dan giat menuntut ilmu untuk petunjuk amalan yang harus mereka kerjakan sebagai khalifah di dunia ini.
Dengan begitu, mereka siap menjadi hamba yang ikhlas mengorbankan diri untuk Allah semata, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ismail AS.
Untuk bekal mendidik mereka, tentunya kita juga harus gemar menuntut ilmu. Ilmu membuat kita tenang dalam mendidik anak-anak dan sebagai benteng kehormatan diri.
Kebahagiaan itu tercipta manakala kita berusaha sekuat mungkin untuk menjadi pendidik sejati, kemudian berserah diri kepada Allah, merasa cukup dengan karunia yang ada, dan Allah pun akan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita. []
Sumber: Buku “Agar Anak Kita seperti Nabi Ismail”