KASMARAN yang tidak dalam syariat Islam termasuk tanda atau ciri rendahnya mentalitas, dan ia merupakan aktivitas orang yang tidak mempunyai kesibukan. Orang yang sedang kasmaran akan mengingat-ingat bayangan sang kekasih dalam kesendiriannya.
Kasmaran termasuk tanda atau ciri rendahnya mentalitas, dan ia merupakan aktivitas orang yang tidak mempunyai kesibukan. Orang yang sedang kasmaran akan mengingat-ingat bayangan sang kekasih dalam kesendiriannya, lalu bayangan itu merasuk ke dalam batinnya. Padahal jika dia menyibukkan diri dengan sesuatu yang membuat hatinya berpaling dari sang kekasih, niscaya akan lenyaplah cintanya, musnahlah kasmarannya, dan munculah keinginan untuk melupakannya.
Orang yang tidak memiliki mentalitas tinggi hampir tidak lolos dari bencana kasmaran ini. Dan orang yang bermentalitas sajalah yang enggan bersikap melankolis. Di lain pihak, hawa nafsu terus berusaha meluluhkan hati orang yang tegar mentalitasnya.
Di manakah kedudukan orang yang lepas kendali dan mengumbar syahwatnya ini apabila dibandingkan dengan Imam as-Syafi’i yang berkata: “Seandainya aku tahu bahwa air yang dingin dapat menodai kehormatan, niscaya aku tidak akan meminumnya,” Raudhatul Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin karya Ibnul Qayyim (hlm. 467).
Ibnul Muqaffa’ menyatakan: “Ketahuilah bahwa hal yang paling menodai nilai seseorang, merusak tubuhnya, menghabiskan hartanya, menghilangkan akal sehatnya, menjatuhkan martabatnya, serta memusnahkan kemuliaan dan kewibawaannya adalah gandrung terhadap kaum wanita. Di antara petaka yang akan menimpa laki-laki penggandrung wanita adalah selalu bosan dengan apa yang dimilikinya dan kedua matanya selalu berambisi untuk mendapatkan wanita yang tidak dimilikinya, padahal wanita itu tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Apa yang di pandang oleh laki-laki terhadap wanita yang belum di kenalnya akan terlihat lebih baik dan sempurna dari pada wanita yang telah dikenalnya (isterinya). Sesungguhnya orang yang tidak menyukai [1] istrinya dan lebih menyukai istri orang lain seperti orang yang tidak berselera terhadap makanan di rumahnya dan lebih menyukai makanan di rumah orang lain. Padahal, wanita yang satu dengan wanita lainnya lebih mirip daripada makanan yang satu dengan makanan yang lainnya. Dengan kata lain, makanan di rumah orang lain itu tidak jauh berbeda dengan wanita yang ada di situ.[2]
Footnote
[1] Dalam naskah asli tertulis al-murtaghib, artinya orang yang menyukai apa yang tidak
dimilikinya.
[2] Al-adabush Shaghîr wal Adabul Kabîr karya Ibnul Muqaffa’ (hlm. 149-150)
Sumber:buku ‘Mental Juara: 50 Faktor Pendukung Muslim Juara” karya Dr.Muhammad bin Ibrahim al-Hamad oleh muslimah.or.id