Kondisi Muslimah Rohingya yang menjadi korban perkosaan militer Myanmar sangat mengerikan. Mereka mengalami luka, pukulan dan tindakan pelecehan lainnya. Bahkan lebih dari itu, alat kelamin mereka dirusak oleh senjata api.
Tasnupa Nourin, dokter di Organisasi Internasional untuk Migran (IOM) mengatakan, para korban rudapaksa banyak yang mengalami luka-luka. Hal itu diantaranya akibat gigitan, vagina robek, bahkan ada tanda-tanda senjata api digunakan untuk menembus alat vital wanita.
Tasnupa, yang bekerja di sebuah klinik milik PBB di kamp pengungsi dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar mengatakan, hampir semua wanita Rohingya yang selamat mengalami pukulan, perkosaan, gigitan di bagian payudara dan alat kelaminnya.
“Mereka tidak menceritakan insiden buruk ini, meskipun kepada keluarganya. Perkosaan adalah stigma buruk di kalangan masyarakat konservatif Rohingya, ” kata Tasnupa seperti dikutip dari Reuters, Senin (25/9/2017).
Para dokter yang bertugas di bawah payung PBB menyebut, bahwa perkosaan adalah teror yang digunakan militer Mynamar terhadap Rohingya.
Seorang perempuan yang sedang menggendong anak kecil berusia enam tahun meneteskan air mata ketika berbicara dengan wartawan. Dia mengaku diperkosa oleh tiga militer Myanmar.
“Ketika mereka kabur, saya berlari keluar rumah bersama dua anak saya untuk menyusul kerumunan orang yang meninggalkan seluruh harta bendanya,” ucap wanita itu.
Seorang wanita mengaku mengalami pendarahan selama tiga hari sebelum tiba di perbatasan Bangladesh.
Pramila Patten, Perwakilan Khusus PBB untuk Kekerasan Seks, mengatakan, dia sangat prihatin dengan operasi militer di Rakhine yang disebut PBB sebagai operasi pembersihan etnis.
Dia menerangkan, para korban selamat itu mengaku mendapatkan kekerasan seksual sebagai teror guna memaksa warga keluar dari Rakhine.
Hampir semua korban kekerasan seks itu mengatakan kepada dokter bahwa para pelakunya mengenakan seragam militer Myanmar. Salah seorang wanita korban perkosaan mengatakan, dia diperkosa oleh lima serdadu sementara pria lainnya melihat aksi pemerkosaan itu.
Lebih dari 430 ribu Muslim Rohinya meninggalkan Rakhine menuju Bangladesh sejak Agustus 2017. Saat itu pasukan Myanmar melancarkan operasi militer atas tudingan serangan di beberapa pos polisi dan pangkalan militer Myanmar.
Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian yang dikecam dunia internasional karena dianggap tidak bisa mengendalikan kekerasan, berjanji akan menindak para pelaku kekerasan di Rakhine.
Namun pemerintah Myanmar menolak memberikan izin kepada tim pencari fakta PBB masuk ke Rakhine guna melakukan investigasi atas teror terhadap kaum Rohingya sejak Februari 2017. []